Friday, 22 May 2020

Cerita dari Kaki Gunung Merbabu



Orang-orang yang begitu ramah, budaya disini benar-benar masih terjaga dengan baik. Dari remaja, separuh baya, anak-anak terlebih orang tua, memiliki sopan santun yang sangat mengagumkan. Hal ini tak pernah Menik jumpai di Kota ia tinggal. Betapa senang dan terheran saat menik diajak Nadir dan salah seorang teman Nadir  ke kebun tembakau sore itu. Semua orang yang ia jumpai menyapa dan tersenyum ramah, bahkan ada seorang laki-laki tua yang tiba-tiba menjabat tangan ketiga remaja itu di tengah perjalanan saat mereka hendak ke kebun. Menik terharu, betapa sangat beda orang-orang di sini dengan di kota.
Sambil senyum-senyum sendiri, dibawanya kantong plastik yang berisi makanan dan minuman untuk bekal mereka di kebun nanti. Sedangkan Nadir dan Momo membawa polibag berisi sayur yang rencana akan mereka pindahkan ke kebun Momo. Menik cukup kualahan mengikuti jejak kaki Nadir dan Momo. Mereka berjalan sangat cepat bagai orang dikejar setan di siang bolong, Menik pun setengah berlari mengikuti mereka. Setelah hampir sampai di kebun yang mereka tuju, Menik memutuskan untuk membiarkan jaraknya semakin jauh dari kedua temannya itu. Selain ia tak sanggup berjalan cepat dengan menenteng kantong plastik yang cukup berat itu, Menik ingin menikmati keindahan yang ia lewati. Sesampainya di kebun, Momo bergegas mengambil daun pisang untuk wadah makanan yang Menik bawa.
Sayur, sambal tempe dan ikan goreng nampak sangat lezat, apalagi mereka memang belum makan dari pagi. Sayang, siang ini sedikit mendung, jadi beberapa gunung yang biasanya nampak kini menghilang tertutup kabut.
Sebelum menyantap makanan yang sudah tertata rapi di atas daun pisang, mereka bertiga melakukan ritual para milenial. Memberi asupan para fans dan netijen di media sosial. Mereka bertiga seolah sedang menjadi photograper yang handal dan berlomba-lomba mengambil gambar terbaik yang akan mereka unggah di sosmed. Hidup ini memang semakin rumit semenjak Smartphone mengendalikan kehidupan manusia.
Seperti sedang kerasukan setan, mereka bertiga menyantap makanan itu dan hanya tersisa duri dan daun pisang saja. Suasana yang dingin terlebih mereka belum makan dari pagi membuat mereka dengan cepat menghabiskan makanan tersebut. Ikan rawa yang nampak seperti ikan kali itu, sudah lama ingin Menik nikmati. Tapi tak pernah ia dapatkan karena cukup susah dicarinya. Sayur yang namanya sangat asing di telinga Menik memiliki rasa yang unik idan membuat menik ketagihan, serta sambal tempe yang nikmat membuat menik ingin mencoba membuatnya sendiri di rumah ketika suatu saat nanti Menik sudah bisa memasak.
Betapa menyenangkan hari ini, saat apa yang diidamkan bisa didapat dalam waktu yang bersamaan. Menik pernah makan di kebun seperti ini semasa ia menduduki bangku Sekolah Dasar di kebun milik kakeknya. Semenjak itu, tak pernah ia rasakan hal serupa. Kesibukan Menik menjadi seorang wanita karir membuat menik jarang memiliki waktu untuk singgah ke Desa.
Nadir dan Momo melanjutkan menebang pohon yang kayunya akan digunakan sebagai property di Café yang sedang mereka renovasi. Sedang mereka sibuk menebang pohon, Menik menikmati sejuknya udara di sana sambil mengelilingi kebun tembakau itu.  
Diambilnya gawai dari kantung jaket parka lusuhnya, kemudian mengabadikan dengan beberapa jepretan foto, lantas mengunggah salah satu hasil jepretannya ke instagram. Dituliskannya caption singkat “sedang mereka sibuk menebang pohon, aku masih tetap sama seperti biasanya, menamam rindu semampuku dan selelahku” Dan membaca japa di dalam hati. “Tuhan, semoga dia membacanya”.
Selepas itu Menik dimanjakan oleh Nadir dengan diajaknya ke kolam renang yang berada di tengah hutan. Melewati pohon besar, tebing batu yang menjulang  tinggi disertai langit yang  mendung membuat Menik tidak sabar ingin cepat sampai. Bersama teman-teman Nadir yang ia temui tadi malam, kembali Menik dibuatnya gembira dan merasa nyaman sebagai orang baru di antara mereka.
Dengan sepatu boots maroon favoritnya yang memiliki tinggi 7cm, ia melewati jalanan yang tidak selayaknya dilewati dan sangat jarang dijamah oleh manusia pada umumnya. Dengan perasaan yang sedikit ragu dan takut, ia berhasil melewati dan menyeberangi beberapa sungai di hutan itu. Saltum alias salah kostu adalah kata yang tepat untuk Menik sore itu. Selepas itu Menik hanya menyaksikan Nadir dan teman-temannya berenang. Sementara mereka asik berenang Menik hanya menyaksikan dari gazebo yang berada persis di pinggir kolam sambil menikmati beer dan menghisap lintingan tembakau. Lalu membayangkan laki-laki itu brada di dalam kolam bersama Nadir dan teman-temannya. Laki-laki yang pernah mematahkan hatinya, laki-laki yang selalu ia tunggu, karna laki-laki itu juga teman dekat Nadir. Bayangan laki-laki itu tidak pernah absen dari kepala Menik dimanapun Menik berada. Tiba-tiba hujan turun sangat deras saat kepala sedang senang-senangnya membayangkan laki-laki itu.
-
Malam itu, Nadir membawanya ke sebuah café dekat rumahnya yang tengah direnovasi. Tetiba menik terkejut saat yang ia jumpai ternyata adalah teman-teman  Didi. Beberapa dari mereka langsung mengatakan pernah melihat Menik sebelumnya. Selepas Nadir memperkenalkan menik sebagai teman Didi. Menik masih ingat benar wajah-wajah mereka karena memang Didi pernah beberapa kali mengajak Menik bertemu dengan teman-temannya itu. Mereka menanyakan bagaimana hubungan menik dan Didi selepas Didi Mengabdikan diri pada Negeri ini di pulau seberang sana. Dengan sok tegar dan senyum yang dibuat-buat menik menjawab bahwa mereka sudah putus sebelum Didi kembali ke Pulau seberang.
Malam semakin larut, angin disana semakin menusuk hingga ke tulang sumsum. Api yang diunggunkan dan lintingan tembakau yang mereka hisap bahkan tak cukup menghangatkan tubuh masin-masing. Dalam kesibukan masing-masing, menik memutuskan untuk naik ke lantai dua di café itu. Ruangan terbuka yang kosong tanpa satupun interior seperti kursi atau meja, menik menyobek buku gambar yang ia bawa sebagai alas duduk dan mencoba menggambar sesuatu. Bulan yang sangat indah serta satu bintang yang sangat cerah berada persis diatas kepala Menik malam itu. Disertai pohon-pohn cemara membuat menik seperti berada dalam film dongeng atau sebuah lukisan yang pernah ia lihat. Keindahan sangat dekat dari sini.
Angin dengan liar menjamah tubuh menik malam itu, jaket parka usang yang  menik kenakan tak mampu melindunginya dari dingin malam itu. Mengalihkan rasa dingin dengan menggambar suasana malam itu mungkin akan membuat menik merasa lupa bahwa ia sedang sangat kedinginan dan merindukan seseorang. Ya, seseorang itu siapa lagi kalau bukan Didi, laki-laki yang menik bayangkan di kolam renang tadi.
Lagi-lagi kenangan tentang Didi menguasai Menik malam itu. Berandai-andai bahwa Didi juga berada di bawah bersama teman-teman dan bermain gitar sambil menyanyikan lagu Slank yang biasa mereka dengarkan bersama. Tapi itu hanya angan-angan Menik saja. Sepertinya menggambar pun tak bisa mengalihkan rinduya kepada sang mantan kekasih, Menik lantas mencoba menulis puisi. Saat seperti inilah ide-ide pasti akan bermunculan dengan cepat.
Baru beberapa kalimat menik menulis di buku gambar barunya,
Tiba-tiba aku ingin menulis puisi
Untukmu sang pematah hati
Di lantai dua tanpa atap ini
Kembali ku singgahi kedai kopi
yang pernah kita kunjungi

Menik dikagetkan dengan kedatangan Nadir yang membawakan 2 potongan kayu untuk dijadikan  alas duduk.
Secepat kilat ia tutup kembali buku itu, karena malu jika Nadir membaca apa yang ia tulis. Tak lama kemudian datang satu teman Nadir menghampiri mereka. Berlomba-lombalah mereka bertiga mengeluarkan gawai dan berusaha memotret bulan yang sangat menawan malam itu. Setelah nadir dan temannya meninggalkan Menik kembali sendiri, ia buka dan  meteruskan apa yang telah ia tuliskan.
Tiba-tiba aku ingin menulis puisi
Untukmu sang pematah hati
Di lantai dua tanpa atap ini
Kembali ku singgahi kedai kopi
yang pernah kita kunjungi
Aku asik duduk sendiri
Sambil mengenangmu yang telah pergi

Angin liar dengan riang menjamah
Tubuh lemah dengan hati yang patah
Aku adalah kesendirian
seseorang tanpa seseorang

Malam ini berbeda dengan yang lalu
Tak ada yang aku tunggu
Kenanganmu saja yang gemar mengganggu
Aku masih sangat akrab dengan kesendirian
Menelan kerinduan yang ku tanam dengan senang

Ditutup kembali buku itu ketika ponselnya bergetar dan dibacanya sebuah pesan dari Nadir “sini turun, bakar tembakau dulu, lanjut gambar di bawah”. Bergegas Menik merapikan semua peralatan menggambarnya dan turun menuju Nadir dan teman-temannya yang tengah asik bermain gitar dan menghangatkan diri di depan api unggun yang mereka buat sedari tadi.
Nadir dan Menik memutuskan untuk meninggalkan teman-temannya dan pulang ke rumah Nadir. Menik masih tetap menggigil kedinginan karena memang disana angin terasa seperti angin yang keluar dari lemari es. Dibuatkannya Mint Tea ala Nadir. Menik yang tak begitu suka dengan teh mencoba menikmati kehangatan teh tersebut dan makanan yang Nadir bawa.
Malam itu, Nadir selalu memaksa Menik untuk meggambar, sedangkan Menik tidak terbiasa menggambar di depan orang lain kecuali teman dekatnya. Karena Menik selalu tidak percaya diri dengan semua karya-karyanya. Nadir membiarkan menik menikmati teh panas buatannya sembari sibuk memainkan gitar kesayangannya.
Menik yang berada persis di sebelah nadir sambil membungkus setengah tubuhnya dengan selimut dan menggenggam erat cangkir teh tida-tiba teringat Didi. Ini adalah kegiatan yang sering Menik dan Didi lakukan setiap malam ketika mereka masih menjadi sepasang. Didi selalu sibuk dengan Bass kesayangannya, dan Menik hanya menemani Didi sambil menikmati kopi dan rokok, tak jarang juga sambil menggambar.
Diambilah buku gambar dan cat air yang selalu ia bawa itu. Mencoba menggambar sesuatu agar Nadir tidak mengulang kata-kata yang sama dan memaksa Menik untuk menggambar. Dengan cahaya lampu berwarna biru yang sangat redup, mulailah Menik memainkan kuasnya dan melukis subuah bunga matahari yang layu. Layu seperti hati menik malam itu yang sangat merindukan Didi. Suasana malam yang sangat menawan dengan bulan yang begitu terang disertai beberapa bintang yang indah. Sayang, yang disamping menik malam itu bukanlah Didi.
-
Ruangan itu, adalah ruangan yang selalu ingin menik singgahi untuk menenangkan diri atau sekedar hibernasi. Ruangan yang selalu bisa memanjakan Menik dari setresnya pekerjaan yang ia jalani. Ruangan kecil yang rapi, bahkan sangat rapi untuk ukuran kamar seorang laki-laki, dengan beberapa tumpuk buku dan beberapa alat musik yang ditata tak kalah rapi. Tanaman kaktus yang sangat Menik sukai, jendela kaca di setiap sisi tembok ruangan itu, kolam ikan d bawah ruangan itu dan gunung di setiap sisi yang dapat ia lihat dari jendela kaca ruangan tersebut. Sungguh tempat yang takkan pernah membosankan. Seandainya Menik bukan salah satu kaum buruh yang harus bekerja dari pagi hingga sore dan hanya memiliki waktu akhir pekan saja untuk pergi, mungkin ia tak akan pulang buru-buru. Dua hari bukanlah waktu yang lama untuk menikmati suasana se indah itu. Menik ingin berlama-lama di sini.
-
Pagi ini saat tubuh menik menggigil kedinginan di atas lantai tiga. Menik sedang berusaha mengambil foto sunrise yang ia tidak tau dari mana arah matahari akan terbit. Tapi nampaknya pagi ini menik kurang beruntung dan tidak akan melihat sunrise karna kabut tebal menutupi seluruh pandangan Menik. Tiba-tiba terdengar langkah kaki dari tangga menuju kamar, dengan cepat menik melemparkan dirinya ke kasur dan bersembunyi di bawah selimut yang sedari malam tak pernah ia lepaskan. Seseorang mengetuk jendela kaca. Saat Menik membalikan badan, nampak sesosok wanita setengah baya mengenakan switer dan membawakan segelas kopi sambil tersenyum. Dibukalah pintu dan Menik melangkah untuk menghampiri wanita tersebut. Diterimanya segelas kopi lalu menik menjabat tangan wanita itu. “Kok repot-repot tante”. Wanita itu tersenyum ramah sambil menanyakan beberapa hal tentang Menik. Setelah selesai berbincang, Mama Nadir meninggalkan Menik sambil berkata “tidur lagi aja kalo dingin, ini masih terlalu pagi”.
Betapa Menik sangat iri dengan Nadir yang memiliki Mama seramah dan sebaik itu. Beberapa kali menik datang ke sini, mama Nadir selalu menyambut Menik dengan hangat. Pun dengan Papa Nadir. Menik yang tidak pernah bisa dekat dengan kedua orang tuanya sangat terharu dengan perlakuan Mama Nadir. Kembali Menik membungkus tubuhnya dengan selimut tebal. Kali ini, sambil duduk ia menikmati kopi buatan Mama Nadir.
Nadir sibuk mengecat bambu yang ia gunakan sebagai dinding kamar mandi yang baru ia bangun di sebelah taman. Menik duduk di rumput hijau yang begitu bersih di sebelah kolam sambil menikmati kopi dan membaca buku yang ia ambil di kamar Nadir pagi tadi. Mereka berdua asik dengan aktivitas masing-masing, Nadir yang melanjutkan menyiram bunga-bunga di taman dan Menik mengamati satu persatu koleksi kaktus Nadir yang sangat banyak. Tetiba terbayang jika Menik tinggal di tempat ini dalam waktu yang lama, bercengkrama dengan semesta yang sangat indah, dengan orang-orang yang sangat ramah di sini pasti akan sangat menyenangkan. Menik ingin menjadi petani saja agar tidak pusing memikirkan Negeri ini yang semakin Rumit. Tapi bagaimana dengan pekerjaannya di kota sana? Lamunannya dihancurkan saat tiba-tiba Nadir menyemprotkan air dari selang yang ia pegang.
Sore yang sangat mendung, dan akhirnya Menik pamit untuk pulang. Nadir sempat menahan tapi Menik harus tetap pulang. Dimintanya beberapa gambar yang dibuat semalam oleh Menik. Nadir berjanji akan meletakkan gambar itu di Cafe yang sedang ia buat. Diiberikan dua gambar yang menurutnya layak untuk dilihat orang lain.
Menik berjanji akan selalu datang di akhir pekan apabila tidak ada pekerjaan mendesak. Dengan satu pot tanaman kaktus yang diminta paksa dari Nadir, Menik meninggalkan Nadir, Mama dan Papa yang mengantarkannya sampai depan rumah.




1 comment:

  1. Sungguh malang nasib menik...
    Menik merupakan seorang pujangga yg saja blum menemukan naungan yg cocok...
    Desa adalah kenyataan
    Kota adalah pertumbuhan
    Desa dan kota tak terpisahkan
    Tapi desa harus diutamakan
    Seperti sepenggal lirik lagu dari sang legenda...

    ReplyDelete