Orang-orang yang begitu ramah, budaya disini benar-benar masih terjaga dengan baik. Dari remaja, separuh baya, anak-anak terlebih orang tua, memiliki
sopan santun yang sangat mengagumkan. Hal ini tak pernah Menik jumpai di
Kota ia tinggal. Betapa senang dan terheran saat menik diajak Nadir dan salah seorang teman Nadir ke kebun tembakau sore itu. Semua
orang yang ia jumpai menyapa dan tersenyum ramah, bahkan ada seorang laki-laki
tua yang tiba-tiba menjabat tangan ketiga remaja
itu di tengah perjalanan saat mereka hendak ke kebun. Menik terharu, betapa sangat beda orang-orang di sini dengan di
kota.
Sambil senyum-senyum
sendiri, dibawanya kantong plastik yang berisi makanan dan minuman untuk bekal
mereka di kebun nanti. Sedangkan Nadir dan Momo membawa
polibag berisi sayur yang rencana akan mereka pindahkan ke
kebun Momo. Menik cukup kualahan mengikuti jejak kaki Nadir dan Momo. Mereka
berjalan sangat cepat bagai orang dikejar setan di siang bolong, Menik pun
setengah berlari mengikuti mereka. Setelah hampir sampai di kebun yang mereka
tuju, Menik memutuskan untuk membiarkan jaraknya semakin jauh dari kedua
temannya itu. Selain ia tak sanggup berjalan cepat dengan menenteng kantong plastik
yang cukup berat itu, Menik ingin menikmati keindahan yang ia lewati. Sesampainya di kebun, Momo
bergegas mengambil daun pisang untuk wadah makanan yang Menik bawa.
Sayur, sambal tempe dan ikan goreng nampak sangat lezat, apalagi mereka memang belum makan dari pagi. Sayang, siang
ini sedikit mendung, jadi beberapa gunung yang biasanya nampak kini menghilang
tertutup kabut.
Sebelum menyantap makanan yang sudah tertata rapi di atas daun pisang, mereka
bertiga melakukan ritual para milenial. Memberi asupan para fans dan netijen di media sosial. Mereka bertiga seolah sedang menjadi photograper yang handal dan
berlomba-lomba mengambil gambar terbaik yang akan mereka unggah di sosmed. Hidup ini memang semakin rumit
semenjak Smartphone mengendalikan kehidupan manusia.
Seperti sedang
kerasukan setan, mereka bertiga menyantap makanan itu dan hanya tersisa duri dan daun pisang saja. Suasana yang dingin
terlebih mereka belum makan dari pagi membuat mereka dengan cepat menghabiskan
makanan tersebut. Ikan rawa yang nampak seperti ikan kali itu, sudah lama ingin Menik nikmati. Tapi tak
pernah ia dapatkan karena cukup susah dicarinya. Sayur yang namanya sangat asing di telinga Menik memiliki rasa yang unik idan membuat menik ketagihan, serta sambal tempe yang nikmat membuat menik ingin mencoba membuatnya sendiri di rumah ketika suatu
saat nanti Menik sudah bisa memasak.
Betapa menyenangkan
hari ini, saat apa yang diidamkan bisa didapat dalam waktu yang
bersamaan. Menik pernah makan di kebun seperti ini semasa ia menduduki bangku
Sekolah Dasar di kebun milik kakeknya. Semenjak itu, tak pernah ia rasakan hal
serupa. Kesibukan Menik menjadi seorang wanita karir membuat menik jarang
memiliki waktu untuk singgah ke Desa.
Nadir dan Momo
melanjutkan menebang pohon yang kayunya akan digunakan sebagai property di Café yang sedang mereka renovasi. Sedang mereka sibuk
menebang pohon, Menik menikmati sejuknya udara di sana sambil mengelilingi
kebun tembakau itu.
Diambilnya gawai
dari kantung jaket parka lusuhnya, kemudian
mengabadikan dengan beberapa jepretan foto, lantas mengunggah salah
satu hasil jepretannya ke instagram. Dituliskannya caption singkat “sedang
mereka sibuk menebang pohon, aku masih tetap sama seperti biasanya, menamam
rindu semampuku dan selelahku” Dan membaca japa di dalam hati. “Tuhan, semoga
dia membacanya”.
Selepas itu Menik dimanjakan oleh Nadir dengan diajaknya ke kolam renang yang berada di tengah
hutan. Melewati pohon besar, tebing
batu yang menjulang tinggi disertai langit yang mendung membuat Menik tidak sabar ingin
cepat sampai. Bersama teman-teman Nadir yang ia temui tadi malam, kembali Menik dibuatnya gembira dan merasa nyaman sebagai orang baru di
antara mereka.
Dengan sepatu boots maroon favoritnya yang memiliki tinggi 7cm, ia
melewati jalanan yang tidak selayaknya dilewati dan sangat jarang dijamah oleh
manusia pada umumnya. Dengan perasaan yang sedikit ragu dan takut, ia berhasil melewati dan menyeberangi beberapa sungai
di hutan itu. Saltum alias salah kostu adalah kata yang tepat untuk Menik sore itu. Selepas itu Menik
hanya menyaksikan Nadir dan teman-temannya
berenang. Sementara mereka asik berenang Menik hanya menyaksikan
dari gazebo yang berada persis di pinggir kolam sambil menikmati beer dan
menghisap lintingan tembakau. Lalu membayangkan laki-laki itu
brada di dalam kolam bersama Nadir dan teman-temannya. Laki-laki yang pernah
mematahkan hatinya, laki-laki yang selalu ia tunggu, karna laki-laki itu juga
teman dekat Nadir. Bayangan laki-laki itu tidak pernah absen dari kepala Menik
dimanapun Menik berada. Tiba-tiba hujan turun sangat
deras saat kepala sedang senang-senangnya membayangkan laki-laki itu.
-
Malam itu, Nadir membawanya ke sebuah café dekat rumahnya yang tengah direnovasi. Tetiba menik terkejut saat yang ia jumpai ternyata adalah teman-teman Didi. Beberapa dari mereka langsung mengatakan pernah melihat Menik sebelumnya.
Selepas Nadir memperkenalkan menik sebagai teman Didi. Menik masih ingat benar wajah-wajah mereka karena memang Didi pernah beberapa kali mengajak Menik bertemu dengan teman-temannya itu. Mereka menanyakan bagaimana
hubungan menik dan Didi selepas Didi Mengabdikan diri pada Negeri ini di pulau seberang sana. Dengan sok
tegar dan senyum yang dibuat-buat menik menjawab bahwa mereka sudah putus sebelum Didi kembali ke Pulau seberang.
Malam semakin
larut, angin disana semakin menusuk hingga ke tulang sumsum. Api yang
diunggunkan dan lintingan tembakau yang mereka
hisap bahkan tak cukup menghangatkan tubuh masin-masing. Dalam kesibukan
masing-masing, menik memutuskan untuk naik ke lantai dua di café itu. Ruangan
terbuka yang kosong tanpa satupun interior seperti kursi
atau meja, menik menyobek buku gambar yang ia bawa sebagai alas duduk dan
mencoba menggambar sesuatu. Bulan yang sangat indah serta satu bintang yang
sangat cerah berada persis diatas kepala Menik malam itu. Disertai pohon-pohn
cemara membuat menik seperti berada dalam film dongeng atau sebuah lukisan yang
pernah ia lihat. Keindahan sangat dekat dari sini.
Angin dengan liar
menjamah tubuh menik malam itu, jaket parka usang yang menik kenakan tak mampu melindunginya dari dingin malam itu. Mengalihkan rasa dingin
dengan menggambar suasana malam itu mungkin akan membuat menik merasa lupa
bahwa ia sedang sangat kedinginan dan merindukan seseorang. Ya, seseorang itu
siapa lagi kalau bukan Didi, laki-laki yang menik bayangkan di kolam renang
tadi.
Lagi-lagi
kenangan tentang Didi menguasai Menik malam itu. Berandai-andai
bahwa Didi juga berada di bawah bersama teman-teman dan bermain gitar sambil menyanyikan lagu Slank yang biasa mereka dengarkan
bersama. Tapi itu hanya angan-angan Menik saja. Sepertinya menggambar pun tak
bisa mengalihkan rinduya kepada sang mantan kekasih, Menik lantas mencoba
menulis puisi. Saat seperti inilah ide-ide pasti akan bermunculan dengan cepat.
Baru beberapa kalimat menik menulis di buku gambar barunya,
“Tiba-tiba
aku ingin menulis puisi
Untukmu sang pematah
hati
Di lantai dua tanpa
atap ini
Kembali ku singgahi
kedai kopi
yang pernah kita
kunjungi
Menik dikagetkan dengan kedatangan Nadir yang membawakan 2 potongan kayu untuk
dijadikan alas duduk.
Secepat kilat ia tutup kembali buku itu, karena malu jika Nadir membaca
apa yang ia tulis. Tak lama kemudian datang satu teman Nadir menghampiri
mereka. Berlomba-lombalah mereka bertiga mengeluarkan gawai dan berusaha
memotret bulan yang sangat menawan malam itu. Setelah nadir dan temannya
meninggalkan Menik kembali sendiri, ia buka dan meteruskan apa yang telah ia tuliskan.
“Tiba-tiba
aku ingin menulis puisi
Untukmu sang pematah
hati
Di lantai dua tanpa
atap ini
Kembali ku singgahi
kedai kopi
yang pernah kita
kunjungi
Aku asik duduk sendiri
Sambil mengenangmu yang
telah pergi
Angin liar dengan riang
menjamah
Tubuh lemah dengan hati
yang patah
Aku adalah kesendirian
seseorang tanpa
seseorang
Malam ini berbeda
dengan yang lalu
Tak ada yang aku tunggu
Kenanganmu saja yang
gemar mengganggu
Aku masih sangat akrab
dengan kesendirian
Menelan kerinduan yang
ku tanam
dengan senang
Ditutup kembali buku itu ketika
ponselnya bergetar dan dibacanya sebuah pesan dari Nadir “sini turun, bakar
tembakau dulu, lanjut gambar di bawah”. Bergegas Menik merapikan semua
peralatan menggambarnya dan turun menuju Nadir dan teman-temannya yang tengah
asik bermain gitar dan menghangatkan diri di depan api unggun yang mereka buat
sedari tadi.
Nadir dan Menik memutuskan untuk
meninggalkan teman-temannya dan pulang ke rumah Nadir. Menik masih tetap
menggigil kedinginan karena memang disana angin terasa seperti angin yang
keluar dari lemari es. Dibuatkannya Mint
Tea ala Nadir. Menik yang tak begitu suka dengan teh mencoba menikmati
kehangatan teh tersebut dan makanan yang Nadir bawa.
Malam itu, Nadir selalu memaksa Menik
untuk meggambar, sedangkan Menik tidak terbiasa menggambar di depan orang lain
kecuali teman dekatnya. Karena Menik selalu tidak percaya diri dengan semua
karya-karyanya. Nadir membiarkan menik menikmati teh panas buatannya sembari
sibuk memainkan gitar kesayangannya.
Menik yang berada persis di sebelah
nadir sambil membungkus setengah tubuhnya dengan selimut dan menggenggam erat
cangkir teh tida-tiba teringat Didi. Ini adalah kegiatan yang sering Menik dan
Didi lakukan setiap malam ketika mereka masih menjadi sepasang. Didi selalu
sibuk dengan Bass kesayangannya, dan Menik hanya menemani Didi sambil menikmati
kopi dan rokok, tak jarang juga sambil menggambar.
Diambilah buku gambar dan cat air yang
selalu ia bawa itu. Mencoba menggambar sesuatu agar Nadir tidak mengulang
kata-kata yang sama dan memaksa Menik untuk menggambar. Dengan cahaya lampu
berwarna biru yang sangat redup, mulailah Menik memainkan kuasnya dan melukis
subuah bunga matahari yang layu. Layu seperti hati menik malam itu yang sangat
merindukan Didi. Suasana malam yang sangat menawan dengan bulan yang begitu
terang disertai beberapa bintang yang indah. Sayang, yang disamping menik malam
itu bukanlah Didi.
-
Ruangan itu, adalah ruangan yang selalu ingin menik
singgahi untuk menenangkan diri atau sekedar hibernasi. Ruangan yang selalu
bisa memanjakan Menik dari setresnya pekerjaan yang ia jalani. Ruangan kecil
yang rapi, bahkan sangat rapi untuk ukuran kamar seorang laki-laki, dengan
beberapa tumpuk buku dan beberapa alat musik yang ditata tak kalah rapi. Tanaman
kaktus yang sangat Menik sukai, jendela kaca di setiap sisi tembok ruangan itu,
kolam ikan d bawah ruangan itu dan gunung di setiap sisi yang dapat ia lihat
dari jendela kaca ruangan tersebut. Sungguh tempat yang takkan pernah
membosankan. Seandainya Menik bukan salah satu kaum buruh yang harus bekerja
dari pagi hingga sore dan hanya memiliki waktu akhir pekan saja untuk pergi, mungkin
ia tak akan pulang buru-buru. Dua hari bukanlah waktu yang lama untuk menikmati
suasana se indah itu. Menik ingin berlama-lama di sini.
-
Pagi ini saat tubuh menik menggigil
kedinginan di atas lantai tiga. Menik sedang berusaha mengambil foto sunrise
yang ia tidak tau dari mana arah matahari akan terbit. Tapi nampaknya pagi ini
menik kurang beruntung dan tidak akan melihat sunrise karna kabut tebal
menutupi seluruh pandangan Menik. Tiba-tiba terdengar langkah kaki dari tangga
menuju kamar, dengan cepat menik melemparkan dirinya ke kasur dan bersembunyi
di bawah selimut yang sedari malam tak pernah ia lepaskan. Seseorang mengetuk
jendela kaca. Saat Menik membalikan badan, nampak sesosok wanita setengah baya
mengenakan switer dan membawakan segelas kopi sambil tersenyum. Dibukalah pintu
dan Menik melangkah untuk menghampiri wanita tersebut. Diterimanya segelas kopi
lalu menik menjabat tangan wanita itu. “Kok repot-repot tante”. Wanita itu
tersenyum ramah sambil menanyakan beberapa hal tentang Menik. Setelah selesai
berbincang, Mama Nadir meninggalkan Menik sambil berkata “tidur lagi aja kalo
dingin, ini masih terlalu pagi”.
Betapa Menik sangat iri dengan Nadir
yang memiliki Mama seramah dan sebaik itu. Beberapa kali menik datang ke sini,
mama Nadir selalu menyambut Menik dengan hangat. Pun dengan Papa Nadir. Menik
yang tidak pernah bisa dekat dengan kedua orang tuanya sangat terharu dengan
perlakuan Mama Nadir. Kembali Menik membungkus tubuhnya dengan selimut tebal.
Kali ini, sambil duduk ia menikmati kopi buatan Mama Nadir.
Nadir sibuk mengecat bambu yang ia
gunakan sebagai dinding kamar mandi yang baru ia bangun di sebelah taman. Menik
duduk di rumput hijau yang begitu bersih di sebelah kolam sambil menikmati kopi
dan membaca buku yang ia ambil di kamar Nadir pagi tadi. Mereka berdua asik
dengan aktivitas masing-masing, Nadir yang melanjutkan menyiram bunga-bunga di
taman dan Menik mengamati satu persatu koleksi kaktus Nadir yang sangat banyak.
Tetiba terbayang jika Menik tinggal di tempat ini dalam waktu yang lama,
bercengkrama dengan semesta yang sangat indah, dengan orang-orang yang sangat
ramah di sini pasti akan sangat menyenangkan. Menik ingin menjadi petani saja
agar tidak pusing memikirkan Negeri ini yang semakin Rumit. Tapi bagaimana
dengan pekerjaannya di kota sana? Lamunannya dihancurkan saat tiba-tiba Nadir
menyemprotkan air dari selang yang ia pegang.
Sore yang sangat mendung, dan akhirnya
Menik pamit untuk pulang. Nadir sempat menahan tapi Menik harus tetap pulang.
Dimintanya beberapa gambar yang dibuat semalam oleh Menik. Nadir berjanji akan
meletakkan gambar itu di Cafe yang sedang ia buat. Diiberikan dua gambar yang
menurutnya layak untuk dilihat orang lain.
Menik berjanji akan selalu datang di
akhir pekan apabila tidak ada pekerjaan mendesak. Dengan satu pot tanaman kaktus
yang diminta paksa dari Nadir, Menik meninggalkan Nadir, Mama dan Papa yang
mengantarkannya sampai depan rumah.
Sungguh malang nasib menik...
ReplyDeleteMenik merupakan seorang pujangga yg saja blum menemukan naungan yg cocok...
Desa adalah kenyataan
Kota adalah pertumbuhan
Desa dan kota tak terpisahkan
Tapi desa harus diutamakan
Seperti sepenggal lirik lagu dari sang legenda...