Semesta sedang tidak baik-baik saja..
Tulisan ini mencoba
merangkum secara sederhana terkait kekhawatiran masyarakat mengenai virus Covid-19.
Saya mencoba untuk “merefleksikan” realita yang
terjadi berkaitan dengan Covid1-19 serta kondisi psikologis masyarakat.
Wabah
virus Covid-19 telah ditetapkan sebagai pandemi global. Sebagian besar
populasi diminta untuk bekerja atau beraktivitas dari rumah saja. Termasuk
saya..
Namun terkadang tetap
saja ada kebutuhan mendesak yang mengharuskan orang ke luar rumah.
Banjir
informasi mengenai wabah Covid-19 ini mau tak mau punya andil
mempengaruhi kesehatan mental sebagian orang. Berita yang berjejal mengenai Covid-19
seliweran baik melalui media massa ataupun media sosial. Di satu sisi, aliran
informasi tersebut penting untuk membangun kewaspadaan dan bekal diri akan
kabar terkini. Namun di sisi lain, tak jarang ada yang justru merasa cemas dan
takut akan kondisi ini. Seakan-akan kiamat sudah menghampiri kita semua.
Dari
fenomena tersebut, kemudian muncul pertanyaan. Kenapa manusia memiliki rasa
panik berlebih dalam merespon suatu persoalan, termasuk menanggapi wabah
Covid-19? kepanikan yang timbul pada diri seseorang merupakan suatu bakat, sesuatu
itu tergantung bakat yang dimiliki seseorang dari dalam dirinya masing-masing.
Orang yang memiliki bakat bahagia, dengan kasus atau persoalan apapun dia akan
bahagia. Namun orang seperti saya cenderung lebih cepat merespon panik dibanding rasa senang dalam menerima bentuk emosional yang mendadak. Perkara penyakit, saya adalah orang yang paling panik
dibanding dengan teman lain.
Pandemi
Global yang sempat menjadi bahan olok-olok atau candaan sekarang benar berada
di sekitar saya. Panik, cemas, parno mendominasi diri ketimbang rasa tenang dan
bahagia. Itu membuat saya menjadi kepikiran dan drop. Tiba-tiba saya flu dan
lemas, berfikir seolah saya juga terkena virus yang mengerikan itu. Apalagi
saya baru pulang dari liburan dan berinteraksi dengan banyak orang. Setelah
saya check-up ke dokter, ternyata saya hanya kelelahan dan terserang flu
biasa. Dianjurkan saya tidak terlalu cemas agar daya imun stabil sehingga tidak
mudah terserang virus. Kecemasan yang berlebih ini saya alami justru dari
berita yang sering saya baca, perkembangan korban yang setiap harinya semakin
bertambah, dan beberapa isu Hoax yang beredar di ponsel saya. Peringatan
dari orang tua atau orang terdekat untuk mecegah Covid-19 dengan mencuci tangan
memakai sabun, ini dan itu membuat saya menjadi selalu kepikiran dan merasa
terancam. Belum munculnya isu dari orang yang memanfaatkan bencana virus ini semakin
memanas, serta argumen orang-orang yang hanya memperkeruh suasana juga sering
saya baca di artikel. Masker yang dirasa sangat membantu dalam menangkal virus
ini juga ikut-ikutan sangat susah didapat, hand sanitizer tak kalah
susah susah untuk dibeli. Sehingga membuat saya drop dan panik. Dari kejadian
ini membuat saya berfikir ternyata mencemaskan sesuatu secara berlebihan justru
akan membuat suatu hal menjadi fatal.
Masyarakat
Indonesia terkenal sebagai masyarakat yang religius. Seperti biasa, semua
masalah selalu dikait-kaitkan dengan agama meskipun tak berkaitan. Tak
terkecuali Covid-19, yang konon sempat dianggap sebagai "pasukan
ilahi". Pendekatan agama yang cenderung naif dan dogmatis sering diterima
sebagai solusi ampuh mengatasi Covid-19 dan sudah dapat ditebak
hasilnya. Kemudian muncul-lah para juru bicara Tuhan yang menawarkan solusi
cara Tuhan menghadapi Covid-19. Banyak doa dan japa yang mesti dihafal
dan diamalkan untuk menangkal virus ini agar tidak menjadi bumerang bagi mereka
yang mengaku religius tersebut. Apalagi saat dikatakan bahwa ini adalah azab
orang-orang kafir, What the hell? Are you okay? Kenapa ada manusia
yang mengkafirkan manusia lain padahal dirinya bukan Tuhan.
Atau
ada yangmengatakan bahwa yang terjangkit adalah akibat dari ulah sendiri karena
tidak bisa menjaga diri. Helooo... Ini adalah virus/penyakit. Orang mana yang
mau sakit? Orang mana yang mau terinfeksi virus? Ini adalah indikasi bahwa
sebagian besar masyarakat kita kurang bijak dalam bermedia sosial. Khususnya
dalam menanggapi informasi-informasi yang berseliweran. Masyarakat kita dalam
bermedia sosial kurang tatanan dalam berbahasa dan kurang mampu menahan emosi
pribadi.Ini sesuatu yang terlalu berlebihan dan dibesar-besarkan.
Penting
untuk menemukan mekanisme menghadapi ketakutan dan kecemasan. Langkah ini
penting dilakukan untuk memastikan kesehatan mental dan mengelola rasa tersebut
agar tak mengarah ke kepanikan.
Covid-19 merupakan jenis penyakit yang cukup diatasi dengan
membatasi diri dari orang lain atau self limiting disease, hingga
menjaga pola hidup sehat. Kita semua harus tetap bahagia, tetap senang dan
tenang untuk tumbuhkan imun dalam tubuh. Rasa
cemas yang berlebihan terkadang membuat seseorang
menjadi tidak bisa berpikir jernih. Menurut rekan saya (yang selalu saya
keluhkan tentang kecemasan saya) bahwa Cemas itu merupakan kekhawatiran yang
muncul karena aktivitas amigdala otak (otak emosi) membajak fungsi otak depan
(logika kritis). Bahwa bagian amigdala otak akan aktif apabila seseorang
mendengar sebuah informasi tidak lengkap atau mungkin informasinya keliru.
Aktivitas otak seperti ini terjadi secara otomatis. Oleh karena itu, untuk
membuat kita menjadi tenang, kita disarankan untuk mencari informasi selengkap
mungkin dari sumber yang valid. Hindari mendengar dan membaca info yang keliru.
Jika informasi valid sudah diperoleh dengan lengkap maka fungsi otak depan
(berpikir logis dan kritis) akan menjadi aktif. Upayakan mempunyai teman
sebagai bentuk mental support pada diri sendiri.
Dokter
sekaligus content creator Clarin Hayes “Jika berbicara angka, dari 110
ribu orang yang terkena virus Covid-19 di dunia, yang telah berhasil
sembuh ada sebanyak 62 ribu, sedangkan angka kematian cuma 3%. Jadi buat apa
kita takut? Kita harus berani dan lawan virus tersebut”. Berita terbaru yang saya dapat 79.881Pasien di 162 Negara sembuh dari Covid-19.
Dari
segala macam isu dan teror yang membuat kita semua panik, hal yang dapat kita
lakukan ialah melawan isu tersebut dengan pengetahuan. Karena obat dari
kepanikan ialah ilmu pengetahuan. Orang yg tersesat oleh informasi yaitu korban pemikiran yang dogmatis.
So, mari sama-sama menjadi
mental support bagi sesama. Mari jaga diri dan semoga kita terbebas dari
Covid-19. Waspada boleh, berlebihan jangan..
No comments:
Post a Comment