Dasar pelacur, anak tidak tahu diri, ibu tidak pernah mengajarimu menjadi wanita murahan!” teriak ibuku setelah berkali-kali memakiku. Ibu tidak suka jika aku diantarkan pulang oleh teman laki-lakiku. Saat air mataku jatuh dengan deras, ibuku nampak belum puas. Disiramnya sup ayam yang masih panas ke tubuhku.
“Tidak enak! Masak saja
tidak bisa. mau jadi apa kamu?!” teriaknya sambil terengah-engah.
Aku
tidak bisa menjawab, aku memang kelelahan dari pulang kerja, masak dengan
sisa-sisa tenagaku. Ibuku memang susah dibahagiakan. Semenjak ditinggal ayah
yang selingkuh dengan teman kantornya, Ibu menjadi gampang marah dan semakin
susah dibahagiakan. Ibu
selalu menganggap wanita yang sering diantar pulang oleh laki-laki adalah
pelacur, meskipun itu hanya teman kerjanya. Itu semua terjadi sebab ayah dan
pelakor itu. Ibu juga membenci pekerjaanku sebagai seorang penulis karena
penghasilanku yang tidak seberapa.
“Ampun, Bu..” pintaku sambil
berisak
Ibuku menamparku sekali
lagi, lalu beranjak pergi. Beberapa bagian kulitku memerah, karena sup ayam
tadi.
Aku
segera ke kamar mandi untuk membilas tubuhku dan menangis di bawah kucuran air.
Aku menggigil karena di kota ini sangat dingin, atau karena sakit hati sebab makian ibuku sendiri. Dadaku sesak mengingat apa yang telah Ibu
lakukan padaku. Semoga tidak ada lebam di wajahku, besok aku harus bertemu dengan kolegaku. Aku harus
meyakinkannya, bahwa tulisanku layak untuk dijadikan film akhir tahun ini.
Sebagai anak semata
wayang, aku harus bertanggungjawab sepenuhnya atas Ibuku. Menjadi seorang penulis bukan pekerjaan yang mudah. Aku harus sering pergi dan
meninggalkan Ibu seorang diri lantas
kesepian di rumah. Semua itu kulakukan agar mendapat
bahan menulis untuk makan aku dan
ibuku. Aku juga ditinggalkan oleh kekasihku ratusan hari lalu karena pekerjaanku sebagai seorang penulis. Dia ingin aku menjadi wanita karir, bekerja di kantor dengan
paras yang menawan dan tutur yang lembut.
Aku tidak bisa mewujudkan
itu semua, sampai pada akhirnya aku ditinggalkan begitu saja demi wanita yang
lebih mapan dariku.
Kulitku terasa perih,
terkena air.
Sengaja tidak ku sabuni,
terlalu perih. Iya perih. Sakit. Tubuhku, hatiku.
Salah apa aku ini, Bu?
Selain
gemar melukai fisikku, ibuku juga sering melukai hatiku. Ibu selalu mengungkit
semua yang telah beliau berikan semenjak aku dilahirkan. Tak jarang aku ingin
sekali mengumpat di hadapan Ibuku. Mengatakan “kenapa tidak kau bunuh saja
sesaat setelah aku dilahirkan”. Jika bisa, akan ku bayar semua uang yang telah
ibu keluarkan untukku, akan ku bayar juga keringat lelah ibu selama mengasuhku.
Tapi sungguh aku tak sampai hati mengatakan itu semua.
Perpisahan
Ibu dan ayahku adalah takdir yang sangat buruk bagiku. Ini sebabnya aku tidak
ingin mempunyai hubungan dengan laki-laki siapapun, setelah aku ditinggalkan oleh kekasihku. Aku akan pergi
dengan siapa saja yang aku suka, tanpa harus menyandang status apapun. Trauma atas kejadian yang menimpa Ibu dan aku satu tahun lalu, membuat
aku tidak ingin menjalin hubungan apapun dengan laki-laki.
“Bangun kamu! Tidak mau cari uang? Kita masih butuh makan!” hardik ibuku kasar, rupanya aku agak kesiangan.
Aku segera beranjak dari tempat tidur dan mencuci wajah.
Tidak
ada waktu untuk mandi, aku bersiap-siap dengan cepat lalu mencari ojek di dekat
gang perumahanku. Aku lupa pamitan dengan ibu. Beliau pasti akan marah besar
nanti, tapi marilah dipikir nanti.
Setelah menaiki ojek,
berkali-kali aku menyuruh bapak ojek untuk lebih cepat mengendarai sepeda
motornya.
Sesampainya
di cafe tempat kami janjian,
ia sudah tidak ada di sana. Bergegas aku membuka ponselku untuk menghubunginya,
ternyata sudah banyak pesan yang masuk dari kolegaku itu. Dia marah atas
keterlambatanku. Sungguh tidak ada toleransi sedikitpun untukku. Impianku telah
hilang bersama banyaknya lebam di tubuh ringkih ini.
Aku menunduk lesu,
padatnya jalanan dan kecerobohanku membuat hari ini dimulai dengan buruk.
Aku beranjak pergi dan
menahan tangis. Bibirku kugigit kencang, agar air mataku tidak terjatuh.
Kulitku masih terasa perih, ditambah aku berkeringat, luka semalam makin terasa
perih.
Sial,
semua ini gara-gara ibu. Aku terlambat datang dan impianku musnah sudah. Aku ingin mengumpat sekeras mungkin di hadapan Ibu. Tapi
tunggu, Ibu yang sudah membangunkanku tadi pagi. Mungkin jika tidak dibangunkan
olehnya, aku masih tertidur pulas saat ini.
Aku berjalan, meninggalkan
cafe. Menangis, tersedu-sedu. Aku hanya ingin pergi ke tempat yang tidak ada
satupun orang yang mengenalku.
“Tapi
nampaknya aku ingin menemui Rena saja”, sudah seperti orang tidak waras. Aku berdialog
dengan diri sendiri di depan cafe.
Sejak
4 tahun lalu setelah kita dipertemukan di sebuah acara bedah buku, aku selalu
mengadu apapun tentangku kepadanya. Sayangnya, aku tidak pernah mengadu tentang
kebahagiaan. Barangkali aku memang ditakdirkan jauh
dari kebahagiaan yang ada di bumi ini.
Di
hadapan sahabatku yang baru selesai beribadah itu, aku meneguk arak dengan cepat. Menghisap tembakau yang
kurasa selalu dapat menenagkanku di setiap keadaan.
Rena
tidak berkomentar apapun dengan apa yang aku lakukan. Beberapa tahun lalu, Rena
pernah memarahiku habis-habisan dengan semua keluakuanku yang menurutnya di
luar batas. Ini semua memang bisa merusak seluruh syaraf dan tubuh yang selalu
kurus ini. Tapi akhirnya Rena memilih untuk diam dan menemaniku menikmati semua
masalah yang menimpa hidupku selama ini.
Aku masih selalu tidak
percaya, Rena yang sangat baik, taat beribadah, dan memiliki banyak
keberuntungan itu mau menerimaku untuk menjadi sahabatnya.
Di sela-sela tegukanku,
aku mengumpat sekuat tenaga. Berharap rasa kesal kepada dunia bisa sembuh saat
itu juga.
Ibu,
ayah, si pelakor, dan laki-laki penghianat itu, kenapa mereka harus ada di
hidupku.
Masih
teralu pagi untuk aku menjadi seorang pecundang yang penuh dosa.
Mungkin
aku hanya butuh tidur untuk mendapatkan tenang.
Rena menyiapkan makanan dan teh hangat untukku. “Makanlah,
setelah itu istirahat. Bukannya mendapatkan uang, kamu malah menghabiskan
uangmu untuk arak dan tembakau yang merusak tubuhmu itu. Kau pikir ibumu akan
senang?” gerutu Rena sambil menggambar orderan dari koleganya.
Malam ini aku kembali mendapat luka dari ibu. Kali ini
di bagian pundak. Ibu melemparku dengan sepatu boots kesayanganku saat aku baru
sampai dalam rumah. Kali ini ibu marah denganku karena aku tidak bisa membanggakannya
dengan menjadi seorang dosen atau dokter seperti harapannya.
“Kenapa
kamu sangat bodoh? Percuma kamu disekolahkan kalau kamu hanya menjadi seorang
penulis” lantas Ibu melempar salah satu bukuku tepat di hadapanku. Sakit, sakit sekali.
Aku
tidak ingin berdebat banyak dengan Ibu, aku diam dan menangis sambil menunduk,
lalu mengambil buku yang sudah robek itu.
“Bukankah
semua profesi itu sama saja? Sungguh
tidak ada yang istimewa. Kita semua sama-sama bernapas dan berdarah. Sama-sama makan nasi dan akan mati”
gumamku dalam hati..
Ayah, pulanglah, Ibu butuh ayah.
Bersambung.........................
No comments:
Post a Comment