Friday, 1 January 2021

Doa si Pendosa

 


Dasar pelacur, anak tidak tahu diri, ibu tidak pernah mengajarimu menjadi wanita murahan!” teriak ibuku setelah berkali-kali memakiku. Ibu tidak suka jika aku diantarkan pulang oleh teman laki-lakiku. Saat air mataku jatuh dengan deras, ibuku nampak belum puas. Disiramnya sup ayam yang masih panas ke tubuhku.

“Tidak enak! Masak saja tidak bisa. mau jadi apa kamu?!” teriaknya sambil terengah-engah.

Aku tidak bisa menjawab, aku memang kelelahan dari pulang kerja, masak dengan sisa-sisa tenagaku. Ibuku memang susah dibahagiakan. Semenjak ditinggal ayah yang selingkuh dengan teman kantornya, Ibu menjadi gampang marah dan semakin susah dibahagiakan. Ibu selalu menganggap wanita yang sering diantar pulang oleh laki-laki adalah pelacur, meskipun itu hanya teman kerjanya. Itu semua terjadi sebab ayah dan pelakor itu. Ibu juga membenci pekerjaanku sebagai seorang penulis karena penghasilanku yang tidak seberapa.

“Ampun, Bu..” pintaku sambil berisak

Ibuku menamparku sekali lagi, lalu beranjak pergi. Beberapa bagian kulitku memerah, karena sup ayam tadi.

Aku segera ke kamar mandi untuk membilas tubuhku dan menangis di bawah kucuran air. Aku menggigil karena di kota ini sangat dingin, atau karena sakit hati sebab makian ibuku sendiri. Dadaku sesak mengingat apa yang telah Ibu lakukan padaku. Semoga tidak ada lebam di wajahku, besok aku harus bertemu dengan kolegaku. Aku harus meyakinkannya, bahwa tulisanku layak untuk dijadikan film akhir tahun ini.

Sebagai anak semata wayang, aku harus bertanggungjawab sepenuhnya atas Ibuku. Menjadi seorang penulis bukan pekerjaan yang mudah. Aku harus sering pergi dan meninggalkan Ibu seorang diri lantas kesepian di rumah. Semua itu kulakukan agar mendapat bahan menulis untuk makan aku dan ibuku.  Aku juga ditinggalkan oleh kekasihku ratusan hari lalu karena pekerjaanku sebagai seorang penulis. Dia ingin aku menjadi wanita karir, bekerja di kantor dengan paras yang menawan dan tutur yang lembut.

Aku tidak bisa mewujudkan itu semua, sampai pada akhirnya aku ditinggalkan begitu saja demi wanita yang lebih mapan dariku.

Kulitku terasa perih, terkena air.

Sengaja tidak ku sabuni, terlalu perih. Iya perih. Sakit. Tubuhku, hatiku.

Salah apa aku ini, Bu?

Selain gemar melukai fisikku, ibuku juga sering melukai hatiku. Ibu selalu mengungkit semua yang telah beliau berikan semenjak aku dilahirkan. Tak jarang aku ingin sekali mengumpat di hadapan Ibuku. Mengatakan “kenapa tidak kau bunuh saja sesaat setelah aku dilahirkan”. Jika bisa, akan ku bayar semua uang yang telah ibu keluarkan untukku, akan ku bayar juga keringat lelah ibu selama mengasuhku.
Tapi sungguh aku tak sampai hati mengatakan itu semua.

Perpisahan Ibu dan ayahku adalah takdir yang sangat buruk bagiku. Ini sebabnya aku tidak ingin mempunyai hubungan dengan laki-laki siapapun, setelah aku ditinggalkan oleh kekasihku. Aku akan pergi dengan siapa saja yang aku suka, tanpa harus menyandang status apapun. Trauma atas kejadian yang menimpa Ibu dan aku satu tahun lalu, membuat aku tidak ingin menjalin hubungan apapun dengan laki-laki. 

 “Bangun kamu! Tidak mau cari uang? Kita masih butuh makan!” hardik ibuku kasar, rupanya aku agak kesiangan. Aku segera beranjak dari tempat tidur dan mencuci wajah.

Tidak ada waktu untuk mandi, aku bersiap-siap dengan cepat lalu mencari ojek di dekat gang perumahanku. Aku lupa pamitan dengan ibu. Beliau pasti akan marah besar nanti, tapi marilah dipikir nanti.

Setelah menaiki ojek, berkali-kali aku menyuruh bapak ojek untuk lebih cepat mengendarai sepeda motornya.

Sesampainya di cafe tempat kami janjian, ia sudah tidak ada di sana. Bergegas aku membuka ponselku untuk menghubunginya, ternyata sudah banyak pesan yang masuk dari kolegaku itu. Dia marah atas keterlambatanku. Sungguh tidak ada toleransi sedikitpun untukku. Impianku telah hilang bersama banyaknya lebam di tubuh ringkih ini.

Aku menunduk lesu, padatnya jalanan dan kecerobohanku membuat hari ini dimulai dengan buruk.

Aku beranjak pergi dan menahan tangis. Bibirku kugigit kencang, agar air mataku tidak terjatuh. Kulitku masih terasa perih, ditambah aku berkeringat, luka semalam makin terasa perih.

Sial, semua ini gara-gara ibu. Aku terlambat datang dan impianku musnah sudah. Aku ingin mengumpat sekeras mungkin di hadapan Ibu. Tapi tunggu, Ibu yang sudah membangunkanku tadi pagi. Mungkin jika tidak dibangunkan olehnya, aku masih tertidur pulas saat ini.

Aku berjalan, meninggalkan cafe. Menangis, tersedu-sedu. Aku hanya ingin pergi ke tempat yang tidak ada satupun orang yang mengenalku.

“Tapi nampaknya aku ingin menemui Rena saja”, sudah seperti orang tidak waras. Aku berdialog dengan diri sendiri di depan cafe.

Sejak 4 tahun lalu setelah kita dipertemukan di sebuah acara bedah buku, aku selalu mengadu apapun tentangku kepadanya. Sayangnya, aku tidak pernah mengadu tentang kebahagiaan. Barangkali aku memang ditakdirkan jauh dari kebahagiaan yang ada di bumi ini.

Di hadapan sahabatku yang baru selesai beribadah itu, aku meneguk arak dengan cepat. Menghisap tembakau yang kurasa selalu dapat menenagkanku di setiap keadaan.

Rena tidak berkomentar apapun dengan apa yang aku lakukan. Beberapa tahun lalu, Rena pernah memarahiku habis-habisan dengan semua keluakuanku yang menurutnya di luar batas. Ini semua memang bisa merusak seluruh syaraf dan tubuh yang selalu kurus ini. Tapi akhirnya Rena memilih untuk diam dan menemaniku menikmati semua masalah yang menimpa hidupku selama ini.

Aku masih selalu tidak percaya, Rena yang sangat baik, taat beribadah, dan memiliki banyak keberuntungan itu mau menerimaku untuk menjadi sahabatnya.

Di sela-sela tegukanku, aku mengumpat sekuat tenaga. Berharap rasa kesal kepada dunia bisa sembuh saat itu juga.

Ibu, ayah, si pelakor, dan laki-laki penghianat itu, kenapa mereka harus ada di hidupku.

Masih teralu pagi untuk aku menjadi seorang pecundang yang penuh dosa.

Mungkin aku hanya butuh tidur untuk mendapatkan tenang.

Rena menyiapkan makanan dan teh hangat untukku. “Makanlah, setelah itu istirahat. Bukannya mendapatkan uang, kamu malah menghabiskan uangmu untuk arak dan tembakau yang merusak tubuhmu itu. Kau pikir ibumu akan senang?” gerutu Rena sambil menggambar orderan dari koleganya.

Malam ini aku kembali mendapat luka dari ibu. Kali ini di bagian pundak. Ibu melemparku dengan sepatu boots kesayanganku saat aku baru sampai dalam rumah. Kali ini ibu marah denganku karena aku tidak bisa membanggakannya dengan menjadi seorang dosen atau dokter seperti harapannya.

“Kenapa kamu sangat bodoh? Percuma kamu disekolahkan kalau kamu hanya menjadi seorang penulis” lantas Ibu melempar salah satu bukuku tepat di hadapanku. Sakit, sakit sekali.

Aku tidak ingin berdebat banyak dengan Ibu, aku diam dan menangis sambil menunduk, lalu mengambil buku yang sudah robek itu.

“Bukankah semua profesi itu sama saja? Sungguh tidak ada yang istimewa. Kita semua sama-sama bernapas dan berdarah. Sama-sama makan nasi dan akan mati” gumamku dalam hati..

Ayah, pulanglah, Ibu butuh ayah.



Bersambung.........................

No comments:

Post a Comment