Kamu sudah tidak lagi bersemayam dalam beer dingin
yang ku nikmati seorang diri pada akhir
tahun ini.
Sepanjang malam, aku terus menatap foto yang menjadi foto profil pada telegram
kekasihku. Aku masih tidak percaya, laki-laki ini yang akan mendampingiku
hingga aku mati nanti, mungkin. Laki-laki ini yang akan ku buatkan kopi di sepanjang hariku. Aku benar-benar belum percaya, laki-laki yang sedari tadi fotonya ku tatap ini yang
akan menjadi ayah dari anak-anakku. Kembali ku teguk beer yang ku dapat dari salah
seorang jurnalis temanku. Dia membawakan dua
botol beer pada natal kemarin. Sengaja aku sisakan dan meminumnya di malam pergantian tahun
ini.
Menikmati beer seorang diri adalah hal yang biasa ku lakukan sejak dia menyerah
denganku. Dia yang sering orang sebut sebagai mantan kekasihku. Dulu.
Tiba-tiba lamunanku dihancurkan oleh dering
panggilan yang sudah lama tidak muncul di layar ponselku.
“Joan” terlihat sebuah nama memanggil. Aku tidak segera menjawab panggilan
itu. Ku perhatikan lekat-lekat foto yang ada di layar ponselku. Bukan lagi
laki-laki yang sedari tadi aku tatap fotonya bersama beer malam ini.
Joan adalah mantan kekasihku yang telah berkali-kali mematahkan hatiku. Joan
adalah laki-laki yang membuat banyak luka di tubuh yang ringkih ini. Joan pula
yang telah menjadikan aku sebagai wanita bodoh dan mati rasa. Aku berkali-kali menerimanya
kembali seolah mempersilahkan dia mebuat luka baru kapanpun dia mau.
Dering kedua, aku masih tidak percaya Joan yang sedang memanggil di ponselku. Mungkin aku terlalu banyak minum, jadi aku berhalusisani.
Dering ketiga aku memutuskan untuk mengangkat
telponnya dan memastikan ini bukan hanya lamunan. Tidak ada suara yang terdengar,
“hallo, hallo Jo” aku mencoba mencari seseorang yang tengah menelponku
itu. Nampaknya usahaku sia-sia. Tidak ada sahutan apapun darinya. Sedikutpu.
Tiba-tiba telepon terputus.
Tidak biasanya dia seperti ini. Joan selalu
menceritakan banyak hal saat menghubungiku. Seperti satu bulan kemarin, saat
aku sibuk meliput salah seorang elit politik yang memiliki cerita sangat
menarik, Joan tiba-tiba menelponku. Sungguh Joan tidak ingin aku mengabaikannya sedikitpun.
Dia memaksaku untuk mendengarnya bercerita tentang apapun. Aku heran, kapan lelah
bibirnya untuk berhenti berbicara, aku sedang ditunggu oleh media untuk
menyelesaikan tulisan ini agar bisa tersampaikan ke seluruh lapisan masyarakat segera.
Sebuah pesan masuk menghancurkan lamunanku.
“Tamar, awal tahun aku akan datang ke kotamu. Kamu baik-baik saja kan,
sungguh aku merindukanmu”
Setelah membaca pesan itu, detak jantung yang
biasanya berubah menjadi lebih cepat, malam ini terasa biasa saja. Tidak ada
rasa yang menggebu untuk segera membalas pesan darinya. Tidak ada rasa bahagia
yang berlebih. Tidak ada rasa sakit, nampaknya aku sudah rela.
Sejak aku terpaksa meneneguk beer seorang diri di
setiap musim, aku selalu mengharapkanmu datang lantas menikmatinya bersama.
Tapi di musim hujan akhir tahun ini, aku sudah terbiasa meneguk beerku seorang
diri. Kali ini, benar-benar seorang diri tanpa bayang wajahmu yang bersemayam
di dalamnya. Iya, nampaknya aku memang sudah rela.
Aku benar-benar mengabaikan pesanmu yang telah
terbaca. Aku tidak ingin lagi menemuimu, aku tidak ingin lagi menambah luka. Sudah
tidak ada tempat untuk menampung luka baru darimu. Karena sejak kau tinggalkan,
aku menjadi seseorang yang kacau. Masa lalu telah menempaku menjadi serpihan yang
tajam di segala sisi. Digenggam akan melukai, dibiarkan hanya terlihat seperti
sampah yang tak punya arti.
Walau luka darimu sudah mulai sembuh, namun aku
masih mengingat benar saat kita masih bisa menikmati beer bersama, berbagi
cerutu sebatang dan tak lelah membicarakan bintang. Kita memang tidak pernah membicarakan masa depan, sama sekali. Aku, masih ingat caramu
menggodaku saat aku kesal. Suaramu yang buruk sekali jika bernyanyi, namun
sialnya aku begitu suka. Semua itu tiba-tiba sedikit terpintas di benakku.
Terngiang di gendang telinga, dan berputar-putar di dalam kepala.
Aku kembali menuang beer di gelas kaca pemberianmu kala
itu. Tangan kiriku masih setia menjepit rokok yang sudah setengah terbakar. Dan
tangan kananku masih memegang ponsel sembari memandangi pesan singkat darimu.
Aku mendengus sesekali, tanda suntuk karena sosok seseorang yang telah mengobrak-abrik
isi kepala. Kepulan asap yang kuembus kuharap bisa membuat dia yang sedari tadi
ada di dalam kepala, kini pergi bersama asap yang menghilang di angkasa.
Akhirnya kuputuskan untuk membalas pesan singkat itu dengan semangat..
Hei, apa kabar?
Aku rasa kau baik-baik saja. Jo, sesekali aku
menengok dan aku tak lagi menulis tentang kehilangan.
Bagaimana harimu?
Ingin sekali aku tanyakan namun aku berusaha
sedingin yang aku bisa di setiap sapaan.
Bukan karena sombong dan juga bukan mengartikan
pengganti barumu sudah membahagiakan aku, bukan. Namun agar membunuh apa yang
kembali hendak tumbuh di setiap kau menyapa walau sesaat.
Banyak orang baik yang datang setelah kau pergi,
sama seperti kisahmu. Banyak sosok yang ingin menggantikan tempatku di hatimu.
Aku sudah bahagia sekarang. Tidak perlu kau
cemaskan lagi.
Aku sudah ditemukan oleh seseorang, yang seperti
dulu doamu sebelum pergi meninggalkanku. Ada yang datang dan benar-benar menyayangiku,
mungkin sepertimu dulu. Namun yang ini tidak akan meninggalkanku karena wanita
yang parasnya lebih mempesona dariku, dia tidak sepertimu.
Kini aku telah benar-benar ditemukannya, seseorang
yang mencintai aku sebesar cintaku kepadamu dulu, atau bahkan lebih.
Aku sudah bahagia sekarang. Tak perlu lagi kau
khawatirkan kabarku.
Salahmu telah ku maafkan, luka olehmu telah
tersembuhkan. Tak perlu lagi merasa bersalah karena meninggalkan aku, tak perlu
lagi kau kasihani keadaanku.
Hujan di kelopak mataku tak lagi memanggil namamu.
Di dalam doaku, namamu telah digantikan oleh nama yang baru.
Aku sudah bahagia sekarang. Terimakasih telah
memutuskan untuk pergi, waktu itu. Caramu menyakitiku kemarin, adalah cara Tuhan
mempertemukan aku dengannya, hari ini.
Jo, yang
ingin aku katakan, aku tidak bisa menemuimu di manapun. Aku tahu, kedatanganmu
ke kotaku bukan semata untukku, melainkan untuk kekasihmu itu. Kamu sudah memilih
wanita itu saat meninggalkanku. Setialah..
Perlu kamu tahu, setia adalah bentuk lain dari
terima kasih.
Begitupun denganku, aku akan setia dengan kekasihku
saat ini.
Tuhan telah mempertemukan kami pada waktu yang
tepat. Saat luka-luka darimu sudah mulai sembuh dan aku siap kembali berlabuh.
Nampaknya aku terlalu banyak minum, hingga aku tak
sadar telah membalas pesan Joan dengan panjang lebar. Tapi, yasudahlah.
Barangkali itu yang benar-benar aku rasakan malam ini.
Listrik tiba-tiba padam saat beerku belum sempat ku habiskan. Tidak ada
bulan, tidak ada bintang, tidak ada teman.
Aku dikejutkan oleh suara ledakan kembang api yang
meramaikan sepiku malam ini. Tahun telah berganti. Banyak harap yang aku
panjatkan bersama tegukan beer terakhirku. Aku tidak tahu, doa dan harapan mana yang
akan segera Tuhan kabulkan. Yang aku tahu,
kita semua
pernah menjadi kembang api di tahun baru seseorang
Terbang
Melayang
Menyala
Meredup
Kemudian selesai.
Tahun ini, ceritaku dan Joan telah selesai bersama tegukan beerku. Nampak tidak sedang jatuh cinta, bahkan tidak merasakan apa-apa. Tapi aku tidak sabar ingin memeluknya dengan erat, lantas mengatakan padanya, betapa aku ingin selalu disampingnya. Dia, laki-laki yang akan menjadi pendampingku selamanya. Dia, yang fotonya sedari tadi kutatap sebelum Joan menghancurkannya. Dia, yang akan segera pulang dari Papua.
No comments:
Post a Comment