Wednesday, 30 December 2020

Yang Tersisa Dari Bir Akhir Tahun

 

Kamu sudah tidak lagi bersemayam dalam beer dingin yang ku nikmati seorang diri  pada akhir tahun ini.

Sepanjang malam, aku terus menatap foto yang menjadi foto profil pada telegram kekasihku. Aku masih tidak percaya, laki-laki ini yang akan mendampingiku hingga aku mati nanti, mungkin. Laki-laki ini yang akan ku buatkan kopi di sepanjang hariku. Aku benar-benar belum percaya, laki-laki yang sedari tadi fotonya ku tatap ini yang akan menjadi ayah dari anak-anakku. Kembali ku teguk beer yang ku dapat dari salah seorang jurnalis temanku. Dia membawakan dua botol beer pada natal kemarin. Sengaja aku sisakan dan meminumnya di malam pergantian tahun ini.

Menikmati beer seorang diri adalah hal yang biasa ku lakukan sejak dia menyerah denganku. Dia yang sering orang sebut sebagai mantan kekasihku. Dulu.

Tiba-tiba lamunanku dihancurkan oleh dering panggilan yang sudah lama tidak muncul di layar ponselku.

“Joan” terlihat sebuah nama memanggil. Aku tidak segera menjawab panggilan itu. Ku perhatikan lekat-lekat foto yang ada di layar ponselku. Bukan lagi laki-laki yang sedari tadi aku tatap fotonya bersama beer malam ini.  

Joan adalah mantan kekasihku yang telah berkali-kali mematahkan hatiku. Joan adalah laki-laki yang membuat banyak luka di tubuh yang ringkih ini. Joan pula yang telah menjadikan aku sebagai wanita bodoh dan mati rasa. Aku berkali-kali menerimanya kembali seolah mempersilahkan dia mebuat luka baru kapanpun dia mau.

Dering kedua, aku masih tidak percaya Joan yang sedang memanggil di ponselku. Mungkin aku terlalu banyak minum, jadi aku berhalusisani. 

Dering ketiga aku memutuskan untuk mengangkat telponnya dan memastikan ini bukan hanya lamunan. Tidak ada suara yang terdengar,

“hallo, hallo Jo” aku mencoba mencari seseorang yang tengah menelponku itu. Nampaknya usahaku sia-sia. Tidak ada sahutan apapun darinya. Sedikutpu.

Tiba-tiba telepon terputus.

Tidak biasanya dia seperti ini. Joan selalu menceritakan banyak hal saat menghubungiku. Seperti satu bulan kemarin, saat aku sibuk meliput salah seorang elit politik yang memiliki cerita sangat menarik, Joan tiba-tiba menelponku. Sungguh Joan tidak ingin aku mengabaikannya sedikitpun. Dia memaksaku untuk mendengarnya bercerita tentang apapun. Aku heran, kapan lelah bibirnya untuk berhenti berbicara, aku sedang ditunggu oleh media untuk menyelesaikan tulisan ini agar bisa tersampaikan ke seluruh lapisan masyarakat segera.

Sebuah pesan masuk menghancurkan lamunanku.

“Tamar, awal tahun aku akan datang ke kotamu. Kamu baik-baik saja kan, sungguh aku merindukanmu”

Setelah membaca pesan itu, detak jantung yang biasanya berubah menjadi lebih cepat, malam ini terasa biasa saja. Tidak ada rasa yang menggebu untuk segera membalas pesan darinya. Tidak ada rasa bahagia yang berlebih. Tidak ada rasa sakit, nampaknya aku sudah rela.

Sejak aku terpaksa meneneguk beer seorang diri di setiap musim, aku selalu mengharapkanmu datang lantas menikmatinya bersama. Tapi di musim hujan akhir tahun ini, aku sudah terbiasa meneguk beerku seorang diri. Kali ini, benar-benar seorang diri tanpa bayang wajahmu yang bersemayam di dalamnya. Iya, nampaknya aku memang sudah rela.

Aku benar-benar mengabaikan pesanmu yang telah terbaca. Aku tidak ingin lagi menemuimu, aku tidak ingin lagi menambah luka. Sudah tidak ada tempat untuk menampung luka baru darimu. Karena sejak kau tinggalkan, aku menjadi seseorang yang kacau. Masa lalu telah menempaku menjadi serpihan yang tajam di segala sisi. Digenggam akan melukai, dibiarkan hanya terlihat seperti sampah yang tak punya arti.

Walau luka darimu sudah mulai sembuh, namun aku masih mengingat benar saat kita masih bisa menikmati beer bersama, berbagi cerutu sebatang dan tak lelah membicarakan bintang. Kita memang tidak pernah membicarakan masa depan, sama sekali. Aku, masih ingat caramu menggodaku saat aku kesal. Suaramu yang buruk sekali jika bernyanyi, namun sialnya aku begitu suka. Semua itu tiba-tiba sedikit terpintas di benakku. Terngiang di gendang telinga, dan berputar-putar di dalam kepala.

Aku kembali menuang beer di gelas kaca pemberianmu kala itu. Tangan kiriku masih setia menjepit rokok yang sudah setengah terbakar. Dan tangan kananku masih memegang ponsel sembari memandangi pesan singkat darimu.

Aku mendengus sesekali, tanda suntuk karena sosok seseorang yang telah mengobrak-abrik isi kepala. Kepulan asap yang kuembus kuharap bisa membuat dia yang sedari tadi ada di dalam kepala, kini pergi bersama asap yang menghilang di angkasa.

Akhirnya kuputuskan untuk membalas pesan singkat itu dengan semangat..

Hei, apa kabar?

Aku rasa kau baik-baik saja. Jo, sesekali aku menengok dan aku tak lagi menulis tentang kehilangan.

Bagaimana harimu?

Ingin sekali aku tanyakan namun aku berusaha sedingin yang aku bisa di setiap sapaan.

Bukan karena sombong dan juga bukan mengartikan pengganti barumu sudah membahagiakan aku, bukan. Namun agar membunuh apa yang kembali hendak tumbuh di setiap kau menyapa walau sesaat.

Banyak orang baik yang datang setelah kau pergi, sama seperti kisahmu. Banyak sosok yang ingin menggantikan tempatku di hatimu.

Aku sudah bahagia sekarang. Tidak perlu kau cemaskan lagi.

Aku sudah ditemukan oleh seseorang, yang seperti dulu doamu sebelum pergi meninggalkanku. Ada yang datang dan benar-benar menyayangiku, mungkin sepertimu dulu. Namun yang ini tidak akan meninggalkanku karena wanita yang parasnya lebih mempesona dariku, dia tidak sepertimu.

Kini aku telah benar-benar ditemukannya, seseorang yang mencintai aku sebesar cintaku kepadamu dulu, atau bahkan lebih.

Aku sudah bahagia sekarang. Tak perlu lagi kau khawatirkan kabarku.

Salahmu telah ku maafkan, luka olehmu telah tersembuhkan. Tak perlu lagi merasa bersalah karena meninggalkan aku, tak perlu lagi kau kasihani keadaanku.

Hujan di kelopak mataku tak lagi memanggil namamu. Di dalam doaku, namamu telah digantikan oleh nama yang baru.

Aku sudah bahagia sekarang. Terimakasih telah memutuskan untuk pergi, waktu itu. Caramu menyakitiku kemarin, adalah cara Tuhan mempertemukan aku dengannya, hari ini.

Jo, yang  ingin aku katakan, aku tidak bisa menemuimu di manapun. Aku tahu, kedatanganmu ke kotaku bukan semata untukku, melainkan untuk kekasihmu itu. Kamu sudah memilih wanita itu saat meninggalkanku. Setialah..

Perlu kamu tahu, setia adalah bentuk lain dari terima kasih.

Begitupun denganku, aku akan setia dengan kekasihku saat ini.

Tuhan telah mempertemukan kami pada waktu yang tepat. Saat luka-luka darimu sudah mulai sembuh dan aku siap kembali berlabuh.

Nampaknya aku terlalu banyak minum, hingga aku tak sadar telah membalas pesan Joan dengan panjang lebar. Tapi, yasudahlah. Barangkali itu yang benar-benar aku rasakan malam ini.

Listrik tiba-tiba padam saat beerku belum sempat ku habiskan. Tidak ada bulan, tidak ada bintang, tidak ada teman.

Aku dikejutkan oleh suara ledakan kembang api yang meramaikan sepiku malam ini. Tahun telah berganti. Banyak harap yang aku panjatkan bersama tegukan beer terakhirku. Aku tidak tahu, doa dan harapan  mana yang akan segera Tuhan kabulkan. Yang aku tahu,

kita semua pernah menjadi kembang api di tahun baru seseorang

Terbang

Melayang

Menyala

Meredup

Kemudian selesai.

Tahun ini, ceritaku dan Joan telah selesai bersama tegukan beerku. Nampak tidak sedang jatuh cinta, bahkan tidak merasakan apa-apa. Tapi aku tidak sabar ingin memeluknya dengan erat, lantas mengatakan padanya, betapa aku ingin selalu disampingnya. Dia, laki-laki yang akan menjadi pendampingku selamanya. Dia, yang fotonya sedari tadi kutatap sebelum Joan menghancurkannya. Dia, yang akan segera pulang dari Papua.

 

No comments:

Post a Comment