Di
zaman yang terlampau maju ini, kesadaran kita dalam memposisikan perempuan
justru semakin memprihatinkan. Kedudukan perempuan menjadi tidak aman dan
terkesan harus lebih waspada dalam beraktifitas di dunia yang serba praktis
seperti ini. Apalagi hampir seluruh pergerakan perempuan seolah-olah diawasi
dengan nilai moral. Artinya, perempuan dalam ruang sosial maupun Agama, dinilai
dengan pendekatan moralitas. Tidak demikian dengan ‘laki-laki’. Jarang sekali
kita melihat, mendengar, atau menyaksikan bahwa ukuruan perilaku laki-laki
dinilai dari pendekatan moralitas.
Contohnya
sederhana,
Ketika
banyak bermain dengan laki-laki, merokok, banyak ngomong, berani melawan, ngopi
di kedai sampai larut malam, dan pergi kesana kemari. Ketika perilaku itu
nampak pada perempuan, maka respon yang lebih dulu keluar adalah “dia perempuan
tidak baik-baik”, atau "dia perempuan nakal" atau bisa saja “dia itu bisa dibayar”, ungkapan lain yang
paling menggelikan adalah ‘’perempuan itu kafir, tempatnya pasti neraka”. Lalu
bagaimana jika perilaku itu jelas terlihat pada umumnya laki-laki? Respon
familiar akan dengan sangat tabu di dengar. Semacam “biarkanlah. Dia itu
laki-laki, jadi wajar” atau “namanya juga laki-laki, santai”, dan yang paling
nyaman didengar adalah “nakal dulu baru sukses, itu tipikal lelaki hebat”.
Contoh
respon kebanyakan masyarakat terhadap perempuan dan laki-laki di atas tadi,
tentu terlepas dari perspektif Agama. Bukan saya mengenyampingkan nilai-nilai Agama.
Lebih kepada penilaian manusia terhadap perilaku individu perempuan yang
cenderung misoginis, mencitrakan laki-laki padahal jelas melakukan perilaku
yang sama. Apalagi akan bertemu dengan yang sok Agamis–respon yang akan muncul
lebih dari penilaian dan otoritas Tuhan.
Banyak orang ngebacot soal emansipasi tapi masih
suka nyinyirin perempuan yang punya banyak temen laki-laki, ngejulidin
perempuan yang suka pulang malam karena mencari inspirasi atau melakukan riset
untuk pekerjaannya. Menyindir dan menghujat harusnya perempuan begini begitu.
Perempuan yang idaman itu yang di rumah saja,
tidak suka keluar malam, wajahnya tidak dipoles make
up. Sampai ke pertanyaan yang aneh bin ajaib, ngapain sih perempuan
punya banyak temen laki-laki, kan nanti dicap perempuan nakal, atau perempuan
gampangan.
Kenapa keluar malam, kenapa banyak main, kenapa
punya banyak teman laki-laki dan kenapa suka ngelawan? ya karena di dunia ini
manusia itu gak perempuan doang, ya karna banyak main juga menambah wawasan zheyeeeng.
Open your mind please...
Lo kagak hidup di jaman purba men, Ngana nge judge orang atas dasar apa?
Ngana Tuhan?
Ngana Tuhan?
Kalo lo banyak wawasan kan juga lo nggak bakal gampang dibodohi.
Terus kalo perempuan banyak main sama laki-laki dan tidak suka pake baju tertutup itu wanita gampangan? Gampangan yang kek mana?Ngana sange liat wanita pake baju atau celana ketat
Saya
jadi ragu, sebenarnya orang yang suka meramaikan Hari Perempuan sedunia, Hari
Kartini, atau Hari Ibu dengan menggunakan kata emansipasi itu ternyata tidak
paham sama arti dari emansipasi.
Begini,
zheyeng—emansipasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pembebasan dari
perbudakan; persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat—seperti
persamaan hak kaum wanita dengan kaum pria. Dilihat secara sederhana dalam
lanskap yang sangat kecil, maka ada kata kunci tentang emansipasi yang bisa
kita dapat di situ—pembebasan dari perbudakan dan persamaan hak.
Emansipasi
tidak sebatas kenyataan bahwa perempuan sekarang sudah bisa belajar di sekolah,
perempuan saat ini sudah diizinkan untuk membawa kendaraan sendiri, bisa kerja,
bisa ikut memilih dalam pemilhan umum dan banyak hal lainnya.
Kenyataan-kenyataan tersebut memang membawa kepada progres yang baik namun
emansipasi sesungguhnya saya pikir tidak bisa berhenti sampai disitu. Setelah
kebebasan tadi ada, maka timbullah permasalahan baru, termasuklah ocehan nggak
jelas soal kenapa perempuan perlu sekolah tinggi dan kenapa perempuan berani
melawan. Lalu
jika dikaitkan dengan pertanyaan ‘untuk apa sih perempuan sekolah tinggi—kan
nanti kan ilmunya nggak kepake’ maka jawabannya adalah karena setiap manusia
baik laki-laki maupun perempuan—atau bahkan sekarang yang non-binary—juga
berhak untuk mendapatkan persamaaan hak. Persamaan hak disini ya termasuk untuk
masalah pendidikan. Masalah bermain, berpakaian dan perkara hobi.
Kenapa gue nulis kek gini, ya karna gue muak sama manusia ortodoks!
No comments:
Post a Comment