Tuesday, 24 September 2019

Bacot Norak Netizen Gua Bacotin..

Berbicara soal emansipasi tapi masih suka ngomong, perempuan kok "ini itu". Ngana Sehat?
Di zaman yang terlampau maju ini, kesadaran kita dalam memposisikan perempuan justru semakin memprihatinkan. Kedudukan perempuan menjadi tidak aman dan terkesan harus lebih waspada dalam beraktifitas di dunia yang serba praktis seperti ini. Apalagi hampir seluruh pergerakan perempuan seolah-olah diawasi dengan nilai moral. Artinya, perempuan dalam ruang sosial maupun Agama, dinilai dengan pendekatan moralitas. Tidak demikian dengan ‘laki-laki’. Jarang sekali kita melihat, mendengar, atau menyaksikan bahwa ukuruan perilaku laki-laki dinilai dari pendekatan moralitas.
Contohnya sederhana,
Ketika banyak bermain dengan laki-laki, merokok, banyak ngomong, berani melawan, ngopi di kedai sampai larut malam, dan pergi kesana kemari. Ketika perilaku itu nampak pada perempuan, maka respon yang lebih dulu keluar adalah “dia perempuan tidak baik-baik”, atau "dia perempuan nakal" atau bisa saja “dia itu bisa dibayar”, ungkapan lain yang paling menggelikan adalah ‘’perempuan itu kafir, tempatnya pasti neraka”. Lalu bagaimana jika perilaku itu jelas terlihat pada umumnya laki-laki? Respon familiar akan dengan sangat tabu di dengar. Semacam “biarkanlah. Dia itu laki-laki, jadi wajar” atau “namanya juga laki-laki, santai”, dan yang paling nyaman didengar adalah “nakal dulu baru sukses, itu tipikal lelaki hebat”.
Contoh respon kebanyakan masyarakat terhadap perempuan dan laki-laki di atas tadi, tentu terlepas dari perspektif Agama. Bukan saya mengenyampingkan nilai-nilai Agama. Lebih kepada penilaian manusia terhadap perilaku individu perempuan yang cenderung misoginis, mencitrakan laki-laki padahal jelas melakukan perilaku yang sama. Apalagi akan bertemu dengan yang sok Agamis–respon yang akan muncul lebih dari penilaian dan otoritas Tuhan.
Banyak orang ngebacot soal emansipasi tapi masih suka nyinyirin perempuan yang punya banyak temen laki-laki, ngejulidin perempuan yang suka pulang malam karena mencari inspirasi atau melakukan riset untuk pekerjaannya. Menyindir dan menghujat harusnya perempuan begini begitu. Perempuan yang idaman itu yang di rumah saja, tidak suka keluar malam, wajahnya tidak dipoles make up. Sampai ke pertanyaan yang aneh bin ajaib, ngapain sih perempuan punya banyak temen laki-laki, kan nanti dicap perempuan nakal, atau perempuan gampangan.
Kenapa keluar malam, kenapa banyak main, kenapa punya banyak teman laki-laki dan kenapa suka ngelawan? ya karena di dunia ini manusia itu gak perempuan doang, ya karna banyak main juga menambah wawasan zheyeeeng.
Open your mind please...
Lo kagak hidup di jaman purba men, Ngana nge judge orang atas dasar apa?
Ngana Tuhan?
Kalo lo banyak wawasan kan juga lo nggak bakal gampang dibodohi. Terus kalo perempuan banyak main sama laki-laki dan tidak suka pake baju tertutup itu wanita gampangan? Gampangan  yang kek mana?Ngana sange liat wanita pake baju atau celana ketat
Saya jadi ragu, sebenarnya orang yang suka meramaikan Hari Perempuan sedunia, Hari Kartini, atau Hari Ibu dengan menggunakan kata emansipasi itu ternyata tidak paham sama arti dari emansipasi.
Begini, zheyeng—emansipasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pembebasan dari perbudakan; persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat—seperti persamaan hak kaum wanita dengan kaum pria. Dilihat secara sederhana dalam lanskap yang sangat kecil, maka ada kata kunci tentang emansipasi yang bisa kita dapat di situ—pembebasan dari perbudakan dan persamaan hak.
Emansipasi tidak sebatas kenyataan bahwa perempuan sekarang sudah bisa belajar di sekolah, perempuan saat ini sudah diizinkan untuk membawa kendaraan sendiri, bisa kerja, bisa ikut memilih dalam pemilhan umum dan banyak hal lainnya. Kenyataan-kenyataan tersebut memang membawa kepada progres yang baik namun emansipasi sesungguhnya saya pikir tidak bisa berhenti sampai disitu. Setelah kebebasan tadi ada, maka timbullah permasalahan baru, termasuklah ocehan nggak jelas soal kenapa perempuan perlu sekolah tinggi dan kenapa perempuan berani melawan. Lalu jika dikaitkan dengan pertanyaan ‘untuk apa sih perempuan sekolah tinggi—kan nanti kan ilmunya nggak kepake’ maka jawabannya adalah karena setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan—atau bahkan sekarang yang non-binary—juga berhak untuk mendapatkan persamaaan hak. Persamaan hak disini ya termasuk untuk masalah pendidikan. Masalah bermain, berpakaian dan perkara hobi. 
Kenapa gue nulis kek gini, ya karna gue muak sama manusia  ortodoks!


No comments:

Post a Comment