Friday, 1 January 2021

Doa si Pendosa

 


Dasar pelacur, anak tidak tahu diri, ibu tidak pernah mengajarimu menjadi wanita murahan!” teriak ibuku setelah berkali-kali memakiku. Ibu tidak suka jika aku diantarkan pulang oleh teman laki-lakiku. Saat air mataku jatuh dengan deras, ibuku nampak belum puas. Disiramnya sup ayam yang masih panas ke tubuhku.

“Tidak enak! Masak saja tidak bisa. mau jadi apa kamu?!” teriaknya sambil terengah-engah.

Aku tidak bisa menjawab, aku memang kelelahan dari pulang kerja, masak dengan sisa-sisa tenagaku. Ibuku memang susah dibahagiakan. Semenjak ditinggal ayah yang selingkuh dengan teman kantornya, Ibu menjadi gampang marah dan semakin susah dibahagiakan. Ibu selalu menganggap wanita yang sering diantar pulang oleh laki-laki adalah pelacur, meskipun itu hanya teman kerjanya. Itu semua terjadi sebab ayah dan pelakor itu. Ibu juga membenci pekerjaanku sebagai seorang penulis karena penghasilanku yang tidak seberapa.

“Ampun, Bu..” pintaku sambil berisak

Ibuku menamparku sekali lagi, lalu beranjak pergi. Beberapa bagian kulitku memerah, karena sup ayam tadi.

Aku segera ke kamar mandi untuk membilas tubuhku dan menangis di bawah kucuran air. Aku menggigil karena di kota ini sangat dingin, atau karena sakit hati sebab makian ibuku sendiri. Dadaku sesak mengingat apa yang telah Ibu lakukan padaku. Semoga tidak ada lebam di wajahku, besok aku harus bertemu dengan kolegaku. Aku harus meyakinkannya, bahwa tulisanku layak untuk dijadikan film akhir tahun ini.

Sebagai anak semata wayang, aku harus bertanggungjawab sepenuhnya atas Ibuku. Menjadi seorang penulis bukan pekerjaan yang mudah. Aku harus sering pergi dan meninggalkan Ibu seorang diri lantas kesepian di rumah. Semua itu kulakukan agar mendapat bahan menulis untuk makan aku dan ibuku.  Aku juga ditinggalkan oleh kekasihku ratusan hari lalu karena pekerjaanku sebagai seorang penulis. Dia ingin aku menjadi wanita karir, bekerja di kantor dengan paras yang menawan dan tutur yang lembut.

Aku tidak bisa mewujudkan itu semua, sampai pada akhirnya aku ditinggalkan begitu saja demi wanita yang lebih mapan dariku.

Kulitku terasa perih, terkena air.

Sengaja tidak ku sabuni, terlalu perih. Iya perih. Sakit. Tubuhku, hatiku.

Salah apa aku ini, Bu?

Selain gemar melukai fisikku, ibuku juga sering melukai hatiku. Ibu selalu mengungkit semua yang telah beliau berikan semenjak aku dilahirkan. Tak jarang aku ingin sekali mengumpat di hadapan Ibuku. Mengatakan “kenapa tidak kau bunuh saja sesaat setelah aku dilahirkan”. Jika bisa, akan ku bayar semua uang yang telah ibu keluarkan untukku, akan ku bayar juga keringat lelah ibu selama mengasuhku.
Tapi sungguh aku tak sampai hati mengatakan itu semua.

Perpisahan Ibu dan ayahku adalah takdir yang sangat buruk bagiku. Ini sebabnya aku tidak ingin mempunyai hubungan dengan laki-laki siapapun, setelah aku ditinggalkan oleh kekasihku. Aku akan pergi dengan siapa saja yang aku suka, tanpa harus menyandang status apapun. Trauma atas kejadian yang menimpa Ibu dan aku satu tahun lalu, membuat aku tidak ingin menjalin hubungan apapun dengan laki-laki. 

 “Bangun kamu! Tidak mau cari uang? Kita masih butuh makan!” hardik ibuku kasar, rupanya aku agak kesiangan. Aku segera beranjak dari tempat tidur dan mencuci wajah.

Tidak ada waktu untuk mandi, aku bersiap-siap dengan cepat lalu mencari ojek di dekat gang perumahanku. Aku lupa pamitan dengan ibu. Beliau pasti akan marah besar nanti, tapi marilah dipikir nanti.

Setelah menaiki ojek, berkali-kali aku menyuruh bapak ojek untuk lebih cepat mengendarai sepeda motornya.

Sesampainya di cafe tempat kami janjian, ia sudah tidak ada di sana. Bergegas aku membuka ponselku untuk menghubunginya, ternyata sudah banyak pesan yang masuk dari kolegaku itu. Dia marah atas keterlambatanku. Sungguh tidak ada toleransi sedikitpun untukku. Impianku telah hilang bersama banyaknya lebam di tubuh ringkih ini.

Aku menunduk lesu, padatnya jalanan dan kecerobohanku membuat hari ini dimulai dengan buruk.

Aku beranjak pergi dan menahan tangis. Bibirku kugigit kencang, agar air mataku tidak terjatuh. Kulitku masih terasa perih, ditambah aku berkeringat, luka semalam makin terasa perih.

Sial, semua ini gara-gara ibu. Aku terlambat datang dan impianku musnah sudah. Aku ingin mengumpat sekeras mungkin di hadapan Ibu. Tapi tunggu, Ibu yang sudah membangunkanku tadi pagi. Mungkin jika tidak dibangunkan olehnya, aku masih tertidur pulas saat ini.

Aku berjalan, meninggalkan cafe. Menangis, tersedu-sedu. Aku hanya ingin pergi ke tempat yang tidak ada satupun orang yang mengenalku.

“Tapi nampaknya aku ingin menemui Rena saja”, sudah seperti orang tidak waras. Aku berdialog dengan diri sendiri di depan cafe.

Sejak 4 tahun lalu setelah kita dipertemukan di sebuah acara bedah buku, aku selalu mengadu apapun tentangku kepadanya. Sayangnya, aku tidak pernah mengadu tentang kebahagiaan. Barangkali aku memang ditakdirkan jauh dari kebahagiaan yang ada di bumi ini.

Di hadapan sahabatku yang baru selesai beribadah itu, aku meneguk arak dengan cepat. Menghisap tembakau yang kurasa selalu dapat menenagkanku di setiap keadaan.

Rena tidak berkomentar apapun dengan apa yang aku lakukan. Beberapa tahun lalu, Rena pernah memarahiku habis-habisan dengan semua keluakuanku yang menurutnya di luar batas. Ini semua memang bisa merusak seluruh syaraf dan tubuh yang selalu kurus ini. Tapi akhirnya Rena memilih untuk diam dan menemaniku menikmati semua masalah yang menimpa hidupku selama ini.

Aku masih selalu tidak percaya, Rena yang sangat baik, taat beribadah, dan memiliki banyak keberuntungan itu mau menerimaku untuk menjadi sahabatnya.

Di sela-sela tegukanku, aku mengumpat sekuat tenaga. Berharap rasa kesal kepada dunia bisa sembuh saat itu juga.

Ibu, ayah, si pelakor, dan laki-laki penghianat itu, kenapa mereka harus ada di hidupku.

Masih teralu pagi untuk aku menjadi seorang pecundang yang penuh dosa.

Mungkin aku hanya butuh tidur untuk mendapatkan tenang.

Rena menyiapkan makanan dan teh hangat untukku. “Makanlah, setelah itu istirahat. Bukannya mendapatkan uang, kamu malah menghabiskan uangmu untuk arak dan tembakau yang merusak tubuhmu itu. Kau pikir ibumu akan senang?” gerutu Rena sambil menggambar orderan dari koleganya.

Malam ini aku kembali mendapat luka dari ibu. Kali ini di bagian pundak. Ibu melemparku dengan sepatu boots kesayanganku saat aku baru sampai dalam rumah. Kali ini ibu marah denganku karena aku tidak bisa membanggakannya dengan menjadi seorang dosen atau dokter seperti harapannya.

“Kenapa kamu sangat bodoh? Percuma kamu disekolahkan kalau kamu hanya menjadi seorang penulis” lantas Ibu melempar salah satu bukuku tepat di hadapanku. Sakit, sakit sekali.

Aku tidak ingin berdebat banyak dengan Ibu, aku diam dan menangis sambil menunduk, lalu mengambil buku yang sudah robek itu.

“Bukankah semua profesi itu sama saja? Sungguh tidak ada yang istimewa. Kita semua sama-sama bernapas dan berdarah. Sama-sama makan nasi dan akan mati” gumamku dalam hati..

Ayah, pulanglah, Ibu butuh ayah.



Bersambung.........................

Wednesday, 30 December 2020

Yang Tersisa Dari Bir Akhir Tahun

 

Kamu sudah tidak lagi bersemayam dalam beer dingin yang ku nikmati seorang diri  pada akhir tahun ini.

Sepanjang malam, aku terus menatap foto yang menjadi foto profil pada telegram kekasihku. Aku masih tidak percaya, laki-laki ini yang akan mendampingiku hingga aku mati nanti, mungkin. Laki-laki ini yang akan ku buatkan kopi di sepanjang hariku. Aku benar-benar belum percaya, laki-laki yang sedari tadi fotonya ku tatap ini yang akan menjadi ayah dari anak-anakku. Kembali ku teguk beer yang ku dapat dari salah seorang jurnalis temanku. Dia membawakan dua botol beer pada natal kemarin. Sengaja aku sisakan dan meminumnya di malam pergantian tahun ini.

Menikmati beer seorang diri adalah hal yang biasa ku lakukan sejak dia menyerah denganku. Dia yang sering orang sebut sebagai mantan kekasihku. Dulu.

Tiba-tiba lamunanku dihancurkan oleh dering panggilan yang sudah lama tidak muncul di layar ponselku.

“Joan” terlihat sebuah nama memanggil. Aku tidak segera menjawab panggilan itu. Ku perhatikan lekat-lekat foto yang ada di layar ponselku. Bukan lagi laki-laki yang sedari tadi aku tatap fotonya bersama beer malam ini.  

Joan adalah mantan kekasihku yang telah berkali-kali mematahkan hatiku. Joan adalah laki-laki yang membuat banyak luka di tubuh yang ringkih ini. Joan pula yang telah menjadikan aku sebagai wanita bodoh dan mati rasa. Aku berkali-kali menerimanya kembali seolah mempersilahkan dia mebuat luka baru kapanpun dia mau.

Dering kedua, aku masih tidak percaya Joan yang sedang memanggil di ponselku. Mungkin aku terlalu banyak minum, jadi aku berhalusisani. 

Dering ketiga aku memutuskan untuk mengangkat telponnya dan memastikan ini bukan hanya lamunan. Tidak ada suara yang terdengar,

“hallo, hallo Jo” aku mencoba mencari seseorang yang tengah menelponku itu. Nampaknya usahaku sia-sia. Tidak ada sahutan apapun darinya. Sedikutpu.

Tiba-tiba telepon terputus.

Tidak biasanya dia seperti ini. Joan selalu menceritakan banyak hal saat menghubungiku. Seperti satu bulan kemarin, saat aku sibuk meliput salah seorang elit politik yang memiliki cerita sangat menarik, Joan tiba-tiba menelponku. Sungguh Joan tidak ingin aku mengabaikannya sedikitpun. Dia memaksaku untuk mendengarnya bercerita tentang apapun. Aku heran, kapan lelah bibirnya untuk berhenti berbicara, aku sedang ditunggu oleh media untuk menyelesaikan tulisan ini agar bisa tersampaikan ke seluruh lapisan masyarakat segera.

Sebuah pesan masuk menghancurkan lamunanku.

“Tamar, awal tahun aku akan datang ke kotamu. Kamu baik-baik saja kan, sungguh aku merindukanmu”

Setelah membaca pesan itu, detak jantung yang biasanya berubah menjadi lebih cepat, malam ini terasa biasa saja. Tidak ada rasa yang menggebu untuk segera membalas pesan darinya. Tidak ada rasa bahagia yang berlebih. Tidak ada rasa sakit, nampaknya aku sudah rela.

Sejak aku terpaksa meneneguk beer seorang diri di setiap musim, aku selalu mengharapkanmu datang lantas menikmatinya bersama. Tapi di musim hujan akhir tahun ini, aku sudah terbiasa meneguk beerku seorang diri. Kali ini, benar-benar seorang diri tanpa bayang wajahmu yang bersemayam di dalamnya. Iya, nampaknya aku memang sudah rela.

Aku benar-benar mengabaikan pesanmu yang telah terbaca. Aku tidak ingin lagi menemuimu, aku tidak ingin lagi menambah luka. Sudah tidak ada tempat untuk menampung luka baru darimu. Karena sejak kau tinggalkan, aku menjadi seseorang yang kacau. Masa lalu telah menempaku menjadi serpihan yang tajam di segala sisi. Digenggam akan melukai, dibiarkan hanya terlihat seperti sampah yang tak punya arti.

Walau luka darimu sudah mulai sembuh, namun aku masih mengingat benar saat kita masih bisa menikmati beer bersama, berbagi cerutu sebatang dan tak lelah membicarakan bintang. Kita memang tidak pernah membicarakan masa depan, sama sekali. Aku, masih ingat caramu menggodaku saat aku kesal. Suaramu yang buruk sekali jika bernyanyi, namun sialnya aku begitu suka. Semua itu tiba-tiba sedikit terpintas di benakku. Terngiang di gendang telinga, dan berputar-putar di dalam kepala.

Aku kembali menuang beer di gelas kaca pemberianmu kala itu. Tangan kiriku masih setia menjepit rokok yang sudah setengah terbakar. Dan tangan kananku masih memegang ponsel sembari memandangi pesan singkat darimu.

Aku mendengus sesekali, tanda suntuk karena sosok seseorang yang telah mengobrak-abrik isi kepala. Kepulan asap yang kuembus kuharap bisa membuat dia yang sedari tadi ada di dalam kepala, kini pergi bersama asap yang menghilang di angkasa.

Akhirnya kuputuskan untuk membalas pesan singkat itu dengan semangat..

Hei, apa kabar?

Aku rasa kau baik-baik saja. Jo, sesekali aku menengok dan aku tak lagi menulis tentang kehilangan.

Bagaimana harimu?

Ingin sekali aku tanyakan namun aku berusaha sedingin yang aku bisa di setiap sapaan.

Bukan karena sombong dan juga bukan mengartikan pengganti barumu sudah membahagiakan aku, bukan. Namun agar membunuh apa yang kembali hendak tumbuh di setiap kau menyapa walau sesaat.

Banyak orang baik yang datang setelah kau pergi, sama seperti kisahmu. Banyak sosok yang ingin menggantikan tempatku di hatimu.

Aku sudah bahagia sekarang. Tidak perlu kau cemaskan lagi.

Aku sudah ditemukan oleh seseorang, yang seperti dulu doamu sebelum pergi meninggalkanku. Ada yang datang dan benar-benar menyayangiku, mungkin sepertimu dulu. Namun yang ini tidak akan meninggalkanku karena wanita yang parasnya lebih mempesona dariku, dia tidak sepertimu.

Kini aku telah benar-benar ditemukannya, seseorang yang mencintai aku sebesar cintaku kepadamu dulu, atau bahkan lebih.

Aku sudah bahagia sekarang. Tak perlu lagi kau khawatirkan kabarku.

Salahmu telah ku maafkan, luka olehmu telah tersembuhkan. Tak perlu lagi merasa bersalah karena meninggalkan aku, tak perlu lagi kau kasihani keadaanku.

Hujan di kelopak mataku tak lagi memanggil namamu. Di dalam doaku, namamu telah digantikan oleh nama yang baru.

Aku sudah bahagia sekarang. Terimakasih telah memutuskan untuk pergi, waktu itu. Caramu menyakitiku kemarin, adalah cara Tuhan mempertemukan aku dengannya, hari ini.

Jo, yang  ingin aku katakan, aku tidak bisa menemuimu di manapun. Aku tahu, kedatanganmu ke kotaku bukan semata untukku, melainkan untuk kekasihmu itu. Kamu sudah memilih wanita itu saat meninggalkanku. Setialah..

Perlu kamu tahu, setia adalah bentuk lain dari terima kasih.

Begitupun denganku, aku akan setia dengan kekasihku saat ini.

Tuhan telah mempertemukan kami pada waktu yang tepat. Saat luka-luka darimu sudah mulai sembuh dan aku siap kembali berlabuh.

Nampaknya aku terlalu banyak minum, hingga aku tak sadar telah membalas pesan Joan dengan panjang lebar. Tapi, yasudahlah. Barangkali itu yang benar-benar aku rasakan malam ini.

Listrik tiba-tiba padam saat beerku belum sempat ku habiskan. Tidak ada bulan, tidak ada bintang, tidak ada teman.

Aku dikejutkan oleh suara ledakan kembang api yang meramaikan sepiku malam ini. Tahun telah berganti. Banyak harap yang aku panjatkan bersama tegukan beer terakhirku. Aku tidak tahu, doa dan harapan  mana yang akan segera Tuhan kabulkan. Yang aku tahu,

kita semua pernah menjadi kembang api di tahun baru seseorang

Terbang

Melayang

Menyala

Meredup

Kemudian selesai.

Tahun ini, ceritaku dan Joan telah selesai bersama tegukan beerku. Nampak tidak sedang jatuh cinta, bahkan tidak merasakan apa-apa. Tapi aku tidak sabar ingin memeluknya dengan erat, lantas mengatakan padanya, betapa aku ingin selalu disampingnya. Dia, laki-laki yang akan menjadi pendampingku selamanya. Dia, yang fotonya sedari tadi kutatap sebelum Joan menghancurkannya. Dia, yang akan segera pulang dari Papua.

 

Friday, 25 September 2020

Puan Tualang


"Menikahlah selagi orangtuamu masih sehat” katanya, sambil mengaduk kopi yang baru saja diantarkan oleh barista tampan di cafe biasa aku datang ini.

Aku akan menikah, saat tiba waktunya nanti” jawabku santai

Saat kedua orangtuamu sudah renta? Saat adikmu juga sudah menikah?”

“Hampir semua teman seumuranmu sudah menikah, bahkan banyak juga yang sudah mempunyai anak Ken!”

Bisakah kau berhenti memojokkanku seperti ini?
Aku tidak ingin menyakiti siapapun, Aku hanya ingin sendiri. Mendinginkan kepalaku, lepas dari jerat siapapun,” Jawabku kesal, lantas menyemburkan asap rokok ke arah sahabatku itu.

Siapa yang kau sakiti? Kamu selalu pergi kemanapun yang kau mau dengan alasan mendinginkan kepala. Apa yang sebenarnya kamu fikirkan? Kamu itu hanya kesepian, Ken!” 

Apa yang kurang darimu? Rumah, mobil, ketenaran, karir, semua sudah kau miliki. Lantas apa lagi? Itu yang kamu sebut terjerat?” dengan nada semakin tinggi dan nampak seperti ingin menelanku mentah-mentah, Maria menbantah semua alasanku tadi.
Sial, dia memang memiliki kemampuan lebih soal berbicara panjang lebar
 dibanding denganku.

Nampaknya dia lebih cocok menjadi seorang Lawyer atau penyiar radio saja ketimbang menjadi seorang designer.

Sudahlah. Tidak bisakah kau memelukku saja kemudian mendengarkan apa yang menjerit dalam dadaku ini? Atau paling tidak, jika kamu tidak dapat memahami, cukup diam dan duduk di sampingku. Kita nikmati kopi bersama, berbagi cerutu sebatang dan membicarakan dinia pada akhir zaman.” Aku seperti kehabisan kata untuk mmbuat Maria berhenti mendesakku

“Ken, kenapa kamu tidak pulang saja. Temui kedua orangtuamu”

“Lalu, aku harus menikah dengan orang yang tidak aku kenal sama sekali itu? Gila! Ini ide yang sangat konyol sepanjang hidupku”

Aku masih seorang perempuan yang tidak begitu peduli akan adanya seorang pasangan. Bukan karena trauma, tapi aku tidak ingin tergesa-gesa. Tergesa-gesa hanya akan membawaku pada hati yang salah. Buru-buru mencari tempat rebah hanya akan memperbanyak hati untuk singgah.

Tiba-tiba cafe ini mendadak sepi, seperti tidak ada kehidupan di dalamnya. Aku mendengar hembusan nafasku sendiri.

“Besok jam berapa pesawatmu terbang?” Tanya Maria memecahkan keheningan

“Jam 4.20 pagi”

“Hati-hati. Tak ada seorangpun yang kamu kenal di sana Ken”

Meskipun mengesalkan, tapi Maria adala orang yang paling perhatian dan selalu ada saat aku membutuhkannya.

“Kamu tenang saja Mar, bukankah memang seperti ini kehidupanku? Tidak ada yang perlu kau khawatirkan berlebih”

-

Seminggu sudah aku di sini, menghabiskan waktu dengan mengisap tembakau dan menyesap kopi dari kedai-kedai ternama di Pulau ini. Aku dapat melakukan apapun yang aku suka di sini. Seperti tidak takut akan kehabisan uang, Aku bisa membeli apa saja yang  ku mau, namun tidak dengan rasa cintanya (laki-laki penghianat) itu.

Sepanjang hari aku hanya memandangi lautan lepas dari villa tempat aku tinggal selama di Bali. Terkadang terlihat sangat menyenangkan dan menenangkan, saat bulan terpancar terang dan bintang datang untuk berlomba memancarkan cahaya siapa yang paling terang.

Terkadang semua nampak muram, saat mereka menghilang dan digantikan oleh rintik hujan.
Di sini, aku berubah menjadi sosok pe
mbenci hujan. Hujan  hanya datang disertai dengan kenangan yang mencetuskan kerinduan.

“Kak, kapan pulang?” Terlihat pesan singkat dari layar ponselku lalu menghancurkan lamunan sore itu.

Aku sengaja mengabaikan pesan dari adik semata wayangku itu. Aku sendiri tidak tahu kapan aku akan pulang. Menemui kedua orangtuaku, lalu dipaksa untuk menikah. Sungguh mengerikan!

Sejak ditinggalkan oleh laki-laki penghianat itu, kehidupanku seakan tak bertujuan. Ku kuburkan semua cita-citaku.

Tiba-tiba bulu mataku jatuh. Konon, jika bulu mata kita jatuh, pertanda ada yang sedang merindukan kita.

Apa aku harus mempercayai mitos bodoh ini? Mengurutkan huruf sesuai tanggal yang terhitung, kemudian huruf itulah yang menunjukkan siapa yang sedang merindukanku. Seperti itukah aku harus memperlakukan bulu mata ini? Berlebihan!

Mitos dibuat untuk mengisi budaya saja. Agar ada hukuman-hukuman yang dianggap nilai moral.

Aku masih terpaku dengan bulu mataku sendiri. Aku
meletakannya di atas telapak tangan. Aku apakan ini? Tidak peduli siapa, bulu mata terjatuh sudah pasti ada yang sedang merindukanku. Kenapa aku tidak menjadi seorang yang skepti
s saja, aku terbawa oleh kepercayaan ini. Siapa yang sedang merindukanku? Aku tidak pernah lagi mengenal seseorang hingga batas kerinduan.

Bagiku rindu bukan sewajarnya rasa yang boleh atau tidak ada dalam hati seseorang.

Rindu hanya ilusi. Bukan sebuah hal yang malaikat sengaja letakan di dalam hati. Rindu adalah Bahasa astral.
Dibuat-buat oleh khayalan masa lalu.

Ah! Bulu mata ini mengapa harus jatuh? Dia menghancurkan mentalku. Bukan aku yang sedang rindu, tapi mengapa aku yang resah. Aku beranomali di sore hari seperti ini, hampir saja aku memasang kembali satu helai bulu mataku tadi. Jika bisa.

Mungkin Mama yang sedang merindukanku, atau mungkin
laki-laki itu. Atau siapa? Rasanya aku ingin menjadi paranormal saja, agar tidak perlu pusing menebak-nebak soal siapa 
yang merindukanku.

-

Soal laki-laki penghianat yang sering aku sebut itu, ada tapi tidak benar. Soal laki-laki itu memang benar adanya, tapi soal penghianat, itu kurang benar, atau mungkin tidak pas. Dia bukan penghianat, dia laki-laki yang belum paham caranya untuk setia pada wanita yang benar mencintainya. Dia juga laki-laki yang menjadi tokoh utama di buku perdanaku, yang telah terbit satu tahun lalu. Dia, adalah laki-laki yang Tuhan kirimkan untuk menyelamatkanku dari kesesatan duniawi yang aku alami beberapa tahun silam. Tuhan mengirimkan seseorang yang berbadan tinggi, dadanya bidang, terasa hangat saat ku sandarkan badan dan lelahku di sana. Aku terbiasa dengan dia di sisiku. Dia, lelaki itu.

Aku tidak berpikir panjang untuk terus memuja, tanpa dasar apapun. Terjadi begitu saja.

Mungkin ini yang disebut cinta oleh orang-orang. Sederhana
sekali, cinta adalah dua liur yang saling bertukar, begitu kata mereka.

Tidak!

Tidak seperti itu cinta bagiku. Dan bukan cinta seperti itu yang aku inginkan. Namun cinta yang aku inginkan adalah cinta yang abadi selamanya.

Waktu itu sempat aku mengumpat kepada teman satu cermin, “Tidak waras! Cinta yang kamu cari itu tidak akan ada. Kecuali cinta itu adalah cinta dari orangtuamu, bukan laki-laki yang selalu ingin kau peluk itu” Mengingat hal ini, kopiku mendadak dingin, akal sehatku tiarap.

Manusia yang tengah jatuh cinta adalah manusia yang juga keras tempurung kepalanya. Dulu.

Aku yakin, laki-laki yang aku cintai itu juga sangat mencintaiku. Aku yakin kami akan hidup bahagia selamanya.

Ternyata aku harus menyerah. Dia memilih melepasku dan menyilakan aku kembali dalam kepahitan yang sudah dia selamatkan. Aku mati untuk yang kedua kali.

Kemarin, dia masih mendekapku kala malam, dan aku memijat keningmu sebelum pejam. Hari ini, semua berubah menjadi kenangan. Kenangan yang membuat kesakitan berumur panjang.

Sejak itu, aku melupakan apa itu cinta. Pelan-pelan aku mencoba bernapas kembali, meskipun aku belum bisa berhenti mencintainya. Banyak hal yang aku peras, akal sehat yang terpaksa tiarap, juga tumpang tindih perasaan ini. Merasakan semua hal yang terjadi dalam hidupku, termasuk putus cinta dengannya.

-

Malam ini kawanku berjanji akan datang menyusulku, pesawatnya akan tiba pukul 8 malam nanti. Aku kan menunggunya di cafe, tempat biasa aku menghabiskan tembakau seorang diri di Pulau Dewata ini. Malam ini, aku sengaja memesan beer untuk menyambut kedatangan kawanku itu. Sosok laki-laki yang nampak sepertimu. Aku melihat sebagianmu ada padanya. Aku masih selalu mencarimu pada sosok lain. Karena sebenarnya, memang kamu yang masih aku inginkan.

Di sela-sela tegukanku, aku tetap memuliakan kenangan akan kekasih lamaku yang tak terlupakan itu. Yang paling lembut dan paling liar, paling riang dan paling bijaksana.

Ah tidak.
Aku menyukai kawanku ini karena dia baik dan lucu. Bukan karena dia mirip denganmu. Sebut saja dia Felix.

Kedatangannya kembali meyakinkanku bahwa hidup akan tetap baik-baik saja, meskipun aku sudah terluka begitu hebat karena putus cinta.

          Selain menyamarkan luka, dia juga datang membawa kabar bahagia. Buku keduaku sudah selesai disunting dan akan segera diterbitkan oleh penerbit ternama. Kini aku yakin, semuanya akan kembali baik-baik saja setelah aku benar-benar rela, kau bahagia dengan wanita itu. Wanita yang sama sekali tidak aku sukai riasan pada wajahnya. Meskipun begitu, nyatanya kau lebih rela melihatku menangis, daripada melihatnya berlalu.

-

“Antarkan aku ke surga yang di dalamnya tidak ada janji dan manusia yang perlu meninggalkan manusia yang lain” pintaku dengan setengah sadar pada Felix.

Ternyata aku banyak minum malam ini. Pantas, kepalaku terasa berat. Seperti ada beberapa kilogram rambut yang tumbuh dengan cepat di kepalaku. Tapi aku tidak perlu khawatir. Felix sudah ada di sini bersamaku. Dia akan menjaga dan menemaniku sepanjang hari. Aku tidak lagi sendiri, dan tidak akan lagi membiarkan diri ini berdialog bodoh dengan cermin yang selalu aku jumpai.

Felix yang sudah meghadirkan kembali kehidupan, meskipun dia tak pernah menyuguhkan surga sekalipun seperti yang aku pinta. Namun dia hadir kembali di dimensi yang lain, dimensi yang tidak membuatku gila seperti ratusan malam kemarin.

          Aku berjanji  pada diriku sendiri, akan menempuh cara
apapun agar tidak melukainya. Sebab, aku pernah terluka begitu hebat. Sakir. Sakit sekali, dulu.

Untuk laki-laki penghianat itu, satu hal yang perlu kamu tahu, kini aku berhenti mencari yang lebih baik darimu. Sebab, segala apa yang aku semogakan telah hadir bersamanya. Hingga akhirnya, aku berani memanggilnya dengan sebutan Felix sayang.

Untuk yang terakhir kalinya, aku memeluk bayangan laki-laki penghianat itu di balik kelopak  mataku.

Untuk yang terakhir kalinya, aku melepaskan cinta, luka dan benci sekaligus.

Untuk yang terakhir kalinya, aku melihat dan memuja diriku sendiri di dalam cermin, tampa dialog bodoh seperti ratusan hari kemarin.

Tak usah pertanyakan relaku.  Sebab, aku sudah. Tidak perlu lagi merasa bersalah ,karena telah menyerah dan membiarkan sebuah harapan di hari esok layu sebelum rekah. Katakan pada kekasihmu yang baru, bahwa denganku, ia tidak usah cemburu. Aku akan berhenti merapal namamu di setiap doaku.

-

Tentang kerinduan dan bulu mata itu. Rindu kepada apa dan siapa, entahlah. Kalimat halus yang kembali menyesakkan dadaku.
Yang jelas, bukan laki-laki penghianat itu yang merindukanku. Mama, iya. Pasti mamaku.

Aku akan pulang, bersama Felix.

Buku keduaku telah terbit bersamaan dengan kepulanganku ke rumah orangtuaku. Aku pulang dengan gaun hitam, yang waktu itu aku kenakan di malam terakhir. Malam penuh dusta. Malam di mana laki-laki yang sangat akucintai itu pergi saat hujan belum reda. Aku ingin mengubah takdir gaun ini.

Dari kejauhan, nampak Maria sahabatku dan orangtua serta adik semata wayangku berdiri di depan pintu bandara untuk menyambut kepulanganku.

Aku terdiam, terharu dan merasa sangat bersalah kepada mereka. Bibirku kugigit kencang, agar air mataku tidak terjatuh.

Keplalaku mendongak, lalu tersentak. Aku terkejut, lalu tersenyum. Seketika, aku punya harapan. Seketika, aku merasa dibutuhkan.

Felix, laki-laki yang menemani perjalanan karirku setelah kepergianmu. Dia akan ku kenalkan dengan orangtuaku. Namun sebagai teman, tidak sepertimu dulu. 

Mungkin aku masih trauma. Kamu, yang dengan yakinnya  aku kenalkan sebagai kekasihku pada orangtuaku l, sepulang dari gereja waktu itu, ternyata tak lebih dari seorang laki-laki pendusta. 

Namun soal menikah, aku tidak tahu. Apakah aku akan menikah dengan Felix, atau laki-laki yang dipilihkan oleh orangtuaku. 

Saat aku mengatakan aku mencintainya pun, bukan berarti aku harus menikah dengannya. Cinta dan pernikahan tidak ada hubungannya. Cinta, ya cinta. Menikah, ya menikah. Hanya orang beruntung yang menikah dengan orang yang dicintainya, atau saling mencintai.