Wednesday, 24 July 2019

Barangkali Tuhan bersemayam dalam Rindu



        Seperti itulah pelarian yang Tamar lakukan, meneguk kepaitan yang sama pait dengan kisah cintanya. Maksudnya adalah kopi di Ruang Tunggu area kampus itu. Ah, maksudnya lagi adalah ngopi di kedai Ruang Tunggu. Sebuah nama kedai yang yang di depannya cukup banyak tanaman bunga yang sengaja ditanam dan dirawat oleh pemiliknya. Tamar tidak tahu jenis apa saja bunga-bunga yang tumbuh disana, bahkan Tamar tidak tahu berapa jenis bunga yang tumbuh di dunia. Tamar hanya tau bunga yang selalu ada di atas mejanya adalah bunga matahari dan kaktus. Iya kaktus, Tamar tidak tahu kaktus adalah jenis bunga atau bukan. Tapi dia sangat indah, terkadang Tamar sangat gemas dan ingin memeluknya dengan erat, tapi Tamar tahu, dia akan terluka kalau ia nekat melakukannya. Ah, seperti saat Tamar nekat mempertahankan kekasihnya yang sudah menghianatinya, maksudnya mantan kekasih yang dulu telah menghianatinya berkali-kali.
Tamar tidak peduli ada berapa banyak bunga di dunia ini, dan kaktus adalah bunga atau bukan. Untuk tahu satu jenis bunga saja, yaitu bunga matahari, banyak hal yang Tamar peras, akal sehat yang terpaksa tiarap juga tumpang tindih dengan perasaannya, merasakan semua hal yang terjadi dalam hidupnya, termasuk putus cinta. Apalagi untuk mengetahui semua jenis bunga? Barangkali otak kanan dan otak kirinya tidak simetris lagi. Bukan melulu bunga matahari dan seduhan kopi yang bicara tentang datang dan perginya seorang laki-laki. Percaya atau tidak, itu bualan murahan!
Tentang kedai kopi yang bernama Ruang Tunggu, itu benar. Tapi tentang bunga matahari yang ada di kedai itu, itu tidak ada dan bukan tidak benar.
Setahun terakhir ini, mejanya ada di sebuah kedai kopi sudut jalan, sebelah kiri perempatan. Perempatan yang akan terlihat diujung bahu jalan para perantau berlalu lalang. Di sofa hitam pojok kedai kopi Ruang tunggu, Tamar di sana. Ruang tunggu itu hanya nama kedainya saja. Ruang tunggu, bukan sebuah ruang untuk menunggu, walaupun memang iya. Tamar selalu sendirian, duduk untuk menikmati kopi, membaca buku yang tersedia disana dan menunggu seorang diri, entah siapa dan apa yang ia tunggu. Sepanjang hari di meja dan kursi yang sama. Di balik sebuah kaca jendela yang luas, Tamar dapat mengintip atau melihat dengan jelas semua hal yang terjadi di jalan-jalan itu. Termasuk melihat kekasihnya jalan bersama wanita lain dan begitu mesra,satu tahun lalu.
Seorang berambut ikal dengan menggendong gitar dipunggungnya turun dari sebuah mobil klasik,Corolla, iya nama mobil itu atau jenisnya. Entah, tamar tidak begitu paham dengan jenis kendaraan yang ada di dunia ini.. Bisa jadi pria itu adalah gitaris kondang, atau anak band yang memiliki banyak penggemar. Entahlah! Tapi Tamar tau persis bagaimana seorang gitaris dia akan rela menggendong gitarnya kemanapun,walaupun sedang berenang sekalipun. Karena kebetulan ayah Tamar adalah seorang gitaris.
Ah..kopi yang Tamar pesan mulai tidak panas lagi. Tak apa, setidaknya tetap hangat.
Ini memang kota digin.
Dingin dengan telapak tangan yang membeku, dingin dengan satu tahun yang masih terasa sepi. Tamar tidak tahu, apa yang Tamar rindukan dan ia tunggu dari kota ini, selain dingin itu sendiri. Tamar pikir tidak ada yang lain. Tamar suka menghabiskan waktu seorang diri. Komunitas begitu banyak tapi tertutup bahkan penuh dengan orang-orang mereka sendiri.  Terkadang dikomersilkan, terkadang juga dipolitikkan. Tapi Tamar juga tidak tahu, barangkali semua ini terbentuk dengan tidak kesengajaan dan tidak sengaja pula Tamar tertarik menjadi bentuk-bentuk seperti itu. Jadi dalam dunia ini ada satu hal yang harus kamu percaya, bahwa kepercayaan itu tidak ada.
~
“Kota ini memang dingin” sapa seseorang tiba-tiba muncul, dia menggeser mundur kursi yang ada di depan Tamar, benar sekali seseorang itu adalah pria berambut ikal yang tadi ia lihat dari sudut sini. Bajunya dekil, rambutnya tidak karuan seperti tidak pernah disisir puluhan tahun. Wajahmnya! "Ah tadi aku melihatnya tidak seperti ini". gumam Tamar.
“Lebih dingin ketika duduk dan minum kopi sendirian, kenapa tidak pesan sebotol beer agar kau merasa lebih hangat?” lanjut pria itu.
"Tidak"
Pria itu tidak memesan apapun kecuali meneguk air putih yang ia tuang sendiri dari botol minumnya ke gelas kosong yang ia ambil dari meja bar. Aku pikir dia jauh lebih tahu tentang kedai ini. Main ambil gelas seenaknya tanpa permisi, main geser kursi dan duduk di meja orang . Seenak tungkak.
“Aku mahasiswa sastra Indonesia” sahutnya lagi dengan jari telunjuk menuju ke kampus yang ada di belakang Tamar. Tamar paham saja, menganggukkan kepala tanpa menoleh kebelakang. Tamar  tidak mengabaikan, toh Tamar adalah mahasiswi seni rupa yang kebetulan satu kampus dan satu fakultas dengan pria itu, mungkin kebetulan mereka tidak pernah bertemu. tadi Tamar juga melirik ke belakang beberapa saat.
“Tidak perlu berbalik, perkiraanmu tidak akan meleset. Hanya berhati-hatilah, terkadang memilih memahami jauh lebih buruk daripada tidak peduli sama sekali”.
“Bukanya aku sempat menoleh tadi? Jawab Tamar
“Oh ya? Berapa detik? Aku tidak melihatnya sama sekali” Kembali pria itu bertanya.
“Yang perlu kita tahu, ternyata hal yang jelas di depan mata saja kita  bisa luput? Kepalaku sebesar ini, yakin tidak melihat pergerakannya”? ulang Tamar
“Tidak”, jawabnya singkat.
Pria itu mengeluarkan satu batang dari kotak rokok kayu yang berukir sebuah gambar, tidak begitu jelas tapi Tamar dapat memperkirakan itu adalah gambar sebuah symbol yang memiliki makna khusus. Kemudian menyodorkannya di depan Tamar.
“Terimakasih”, diambilnya sebatang rokok dari kotak kayu tanpa basa-basi dan rasa canggung.
Laki-laki itu itu sedikit kaget, kenapa perempuan semanis itu mau mengambil sebatang rokok yang ia buat sendiri dari tembakau hasil kebun saping rumahnya.
“Baiklah sekarang mengapa kamu mengambil sebatang rokok ini? Ah maksudku mengapa kau merokok? Perempuan kebanyakan sangat menjaga nilai, tanya pria itu tanpa basa-basi.
“Maksud kau, aku perempuan bebas nilai?” Tamar sewot
“Aku tidak membicarakan perempuan di luar sana. Tapi aku adalah peremuan dan aku merokok. Selama ini memang, rokok disimbolkan dengan hal-hal yang bertendensi negative bagi perempuan. Aku tidak tahu kenapa bisa seperti itu. Apakah karena budaya atau tradisi yang selalu diyakini? cobalah kita sebut, pelacur, perempuan bar, atau yang lebih sederhana perempuan-perempuan yang hobi nongkrong dan pulang malam. Kadang aku berandai-andai, rokok ada di tengah dua jari perempuan-perempuan yang berambut panjang, memakai bando dan kacamata tebal dengan rok bunga-bunga sambil memasak di dapur, atau perempuan-perempuan yang merokok setelah atau sebelum beribadah. Ah, itu keren sekali, tapi aku tidak tahu setelah semua itu apakah perempuan-perempuan merokok akan berubah citranya menjadi lebih  mendingan, atau sebaliknya? Mereka yang kemudian citranya rusak gara-gara sebatang rokok sangat kasian”. Jelas Tamar panjang lebar.
“Jika semua perempuan memiiki jalan pikiran sama sepertimu, maka tidak akan ada lagi tradisi yang memandang wanita merokok adalah sebuah kesalahan terbesar. Toh Tuhanku tidak pernah melarang wanita untuk menikmati rokok. Dan apabila kau memiliki aktvitas khusus dan menjadikan rokok adalah sarana untuk lebih rilex dalam melakukannya, kenapa tidak kamu merokok? Jangan dengarkan kata orang lain, kamu hidup tidak diberi makan dan dibiayai oleh mereka. Kau bebas melakukan apa saja yang kau suka, bukan yang mereka suka. Mereka tidak akan pernah berhenti mencari kesalahanmu. Pun ketika kau tidak merekok, maka mereka akan mencari kesalahan lain yang membuatmu merasa salah dan harus mengikuti omongan mereka. Aku sedikit tersanjung ada perempuan yang mencoba untuk tidak munafik. Dengan merokok menghasilkan banyak ide, toh di kota ini sangat dingin, bahkan jika ada satu atau sepuluh teman ngopi di satu mejapun akan tetap terasa dingin”. Nasihat pria yang belum sempat Tamar tanyakan namanya itu
Bibir hitam karena terlalu sering merokok mungkin, terlihat begitu manis saat ia berbicara sepanjang itu. Wajah kusamnya benar-benar serasi dengan asap-asap rokok dari mulutnya.
Tamar tidak bisa bayangkan akan bertemu seorang yang hangat dalam kota seperti ini. Tamar memang merokok sejak 8 tahun lalu, sedikit menghangatkan tubuh juga akal.
“Ya, walaupun sampai hari ini perempuan merokok sah-sah saja, hanya terkesan salah dan tidak pas. Urusanku di dunia ini bukan mencari kebenaran dan kesalahan. Jika yang aku ambil salah setidaknya aku akan membuat itu menjadi baik meskipun untuk diriku sendiri, yaahh, seperti itulah. Tenang saja, aku sudah meminta izin kepada Tuhan. Untuk merokok, pun Tuhanku tidak melarang Perempuan merokok". jelasnya dengan santai. Kakinya dilipat dan tangannya memegang rokok.
“Substansial kecil” jawab pria itu ringan.
Malam sudah larut, “sampai bertemu jam sekian disini. Aku selalu pesan sebotol beer. Dan jika kamu seorang seniman yang suka menulis. Tunggu dulu, kenapa seorang mahasiswi seni rupa sepertimu suka menulis? Kenapa tidak menggambar ide-ide yang hebat saja? Ah untuk apa aku tanya seperti itu, toh aku pikir kau lebih suka dan nyaman menjadi seorang penulis. Coba tulis saja tentang dirimu, tentang perempuan perokok yang mendapatkan izin Tuhan”. ujarnya dengan senyum tipis.
~
Langkah kaki jenjangnya sangat lebar. Cepat sekali dia, tiba-tiba sudah di seberang jalan.Dia melabaikan tangan kirinya, tangan kanannya masih menjepit sebatang rokok. Dan mobilnya melaju begitu cepat, secepat sebatang rokok kecil itu terbakar habis.
Tamar kembali pada naskah-naskah cupu di monitor notebook usang yang sudah sangat lemot dan bisa dibilang tidak layak pakai lagi. Tapi dengan notebook usang itu, Tamar mendapatkan banyak uang untuk membeli kopi dan rokok atau kadang membeli beer saat ia terluka. Tersadarkan bahwa sudah seharian Tamar duduk dengan beberapa cangkir kopi dan Notebook usangnya.
~
Baiklah, sore ini secangkir kopinya tentang pria tanpa nama, perempuan perokok, juga kota yang dingin. Tamar selalu menunggu tentang apa kopi-kopinya esok dan seterusnya.
Seperti kemarin-kemarin, masih saja dingin, bahkan beberapa kali sempat hujan. Seperti kemarin-kemarin juga, masih saja sendiri dan menungu. Entah apa yang Tamar tunggu. Kabar dari sang mantan kekasih? Atau kedatangan orang  baru yang akan membuatnya melupakan sang mantan kekasih untuk selamanya. Di atas meja yang hanya cukup untuk dua leptop dan beberapa cangkir saja, Tamar melihat sekitar, sesekali ingin memesan sebotol beer, tapi barangkali uangnya akan lebih cepat habis dan ia tidak bisa memesan kopi di esok hari, ia memutuskan untuk memesan kopi yang biasa ia pesan.
Biasanya, tamar akan memesan kopi saat ia suka, dan akan memesan beer saat ia luka. Tapi perkara rokok, tamar akan selalu menyisihkan uangnya untuk membeli rokok demi kehangatan otaknya.
Tuhan bersemayam bersama segelas beer, kopi dan asap rokok. Begitu Tamar mempercayainya.
Tamar teringat pria dengan sebotol beer kemarin. “Ah aku tidak menunggunya, aku hanya sekedar teringat. Hujan hari ini lebih deras ketimbang kemarin. Dan sepertinya dia tidak datang”.Gumam tamar sambil memandang ke arah hujan yang begitu lebat.
Sedang apa mantan kekasihnya itu disaat hujan lebat seperti ini? Samakah seperti Tamar yang sedang merindukan pelukannya? Air mata turun begitu deras, tak kalah deras dengan air hujan yang turun sore itu. Tamar memesan beer, kali ini ia memesan satu botol besar. Ia akan meminta pelunasan pembayaran atas tulisannya yang belum dibayar untuk ngopi esok hari, yang penting hari ini lukanya terobati. Ah, maksudnya teralihkan,maksudnya lagi agar tidak begitu terasa, pun rindunya.
Seperti kemarin-kemarin, sepertinya takdirnya memang ngopi seorang diri. Di sebuah kedai kopi diujung jalan yang selalu nampak paling terang. Di ruang tunggu ini. Semoga tidak ada kutukan-kutukan seperti yang Tamar khawatirkan. Tamar seorang diri karena ia memilihnya. Kota ini tetap saja dingin, entah sampai kapan.
“Semoga esok aku datang lagi kesini bisa memesan takdir, tak lagi memesan kopi ataupun sebotol beer”. Gumam Tamar dalam hati saat beranjak meninggalkan kedai kopi tersebut dengan badan yang sudah tidak stabil dan fikiran sedikit tenang.
Beer yang tamar nikmati malam itu adalah beer yang berbusa di tengah sunyi dan kesakitan-kesakitan setiap harinya. Kesakitan karena diduakan oleh kekasihnya, ditinggakan begitu saja, dan kesakitan menunggu yang tidak tau sampai kapan. Tapi tetap nikmat saja, karena suatu kali seseorang pernah datang lalu mengatakan bahwa Tuhan juga bersemayam dalam beer dan rindu
 Yang aku butuhkan hanya hangat dari sekian banyak nasihat, Nasihat tentang melupakannya, atau sekedar nasehat melakukan apapun yang membuat Tamar bahagia. Seperti apa bahagia yang mereka maksud, jka kebahagiaan Tamar saat ini hanya dengan bertemu dengan mantan kekasihnya. Beberapa kali yang Tamar lakukan hanya duduk memesan kopi ketika ia lega, memesan beer ketika aku luka. Dan menghabiskan rokok semaunya.
Bagaimana kabar pria kemarin yang sempat menasihatinya? Pria yang sempat menyanyikan sebuah lagu untuknya. Apakah dia adalah orang yang Tuhan kirim untuk sekedar mengingatkanku tentang kebahagiaan dan menghiburku bersama secangkir kopi dan sebotol beer? Atau dia adalah salah satu yang bersemayam pada asap rokokku?
Ah, tamar tidak terlalu peduli. Yang ia fikirkan saat ini, bagaimana kabar mantan kekasihnya? Sampai kapan Tamar harus menunggu? Sampai kapan Tamar harus menutup hati untuk pria lain? Sedang usianya semakin bertambah~


No comments:

Post a Comment